Thursday, January 19, 2006

Sedikit Berharap

"Bu, saya pengen ngadu...," suatu siang, salah seorang rekan kantor mengirim pesan pada saya.

"Iya?" jawab saya.

"Ngg... sebenernya, konsep ikhtiar itu gimana, sih, Bu?"

"Apa, ya? Menurut saya?" saya tanya balik.

"Iyap!"

"Misalnya, kita pas mau ujian. Kalo kita pengen dapet nilai bagus, atau minimal kita pengen bisa jawab soal, pastinya kita mesti punya tools, kan?"

"Heu eum."

"Kita akan mengusahakan untuk punya bukunya, atau catatan, atau bahkan diktat. Tapi, kita belum tentu akan dapet nilai bagus atau bisa jawab soal, walau kita udah punya semua tools itu. Kenapa, coba?"

"Yah, mungkin belum dibaca..."

"Yup! Betul! Nah, selain kita perlu punya tools, kita mesti mengadakan usaha lain, yaitu membaca atau mempelajarinya.

"Tapi gimana, kalo seandainya, kita udah punya tools-nya, udah baca dan hafal sampai di luar kepala, kita tetep ga dapet nilai bagus atau buruk2nya, kita bahkan ga bisa ngerjain soal itu? Misalnya, tiba2 aja kepala kita kepentok trus jadi amnesia, atau tiba2 kita sakit perut tepat sebelum ujian atau bahkan kita ga pernah sampai ke kampus untuk ujian atau karena salah lihat jadwal ujian? Itu namanya takdir yang kita ga pernah tahu."

"Tapi, takdir bisa diubah, kan?"

"Bisa aja, sepanjang kita bener2 mengupayakannya dan berharap cuma kepadaNYA."

"Pas mempersiapkan diri buat ujian, bukan sekedar tools atau mempersiapkan fisik kita saja, tetapi juga secara ruhiah, kita juga harus mempersiapkannya. Berdoa, semoga dilancarkan ujian kita, diberi kemudahan, dst, dst..."

"Ujung2nya kita mesti sabar, ya, Bu?" tanyanya.

"Iya, sih...," jawab saya.

"Itu kata, sumpah simpel banget," lanjut saya," tapi, ternyata pelaksanaannya ga sesimpel kata2nya. Sabar itu melibatkan qalbu kita, di mana qalbu kita itulah yang menjadi cerminan sesungguhnya, siapa diri kita."

"Kalo saya berharap, sedikit saja, boleh, ga, Bu?"

"Berharap itu HARUS! Tapi cuma sama Allah saja. Minta apa aja sama DIA. Dan penuhi apa yang menjadi aturanNYA. Aku yakin, Allah itu Maha Memperhatikan, biarpun setitik debu, tetap diperhatikanNYA, apalagi kita, manusia yang katanya makhluk sempurna yang kelak akan diminta pertanggung jawabannya. Tentu saja diperhatikanNYA."

Lalu, dia berseloroh tentang kesulitan ekonominya, tentang dia yang merasa down dan ditinggalkanNYA. Saya hanya berdecak dan menulis,"DIA tidak akan pernah meninggalkanmu. Yang ada Kamu yang meninggalkanNYA."

Pembicaraan lewat tulisan itu kemudian berakhir, ketika teman kantor saya itu sadar bahwa dia telah menempatkan Allah di posisi ke sekian, terutama untuk masalah shalat. Jam telah bergulir nyaris setengah lima, dan dia segera bergegas untuk shalat Ashar.

Sejenak, saya termenung, sebelum melanjutkan pekerjaan saya. Saya pun telah berlaku sama padaNYA. Tidak mengindahkan panggilan untuk menemuiNYA dengan segera. Saya malah asyik dengan pekerjaan saya. Padahal, rezeki itu cuma DIA yang mengatur. Semoga, seiring berakhirnya obrolan dengan teman saya tersebut, saya bisa menjadi seseorang yang lebih baik.

Sedikit berharap akan menjadi lebih baik, gapapa, kan???