Wednesday, December 19, 2007

Sudah 24 Tahun, Mom...

18 Desember 1983...
sekitar shubuh, saya terbangun karena suara isak tangis di sekitar saya.
Tidak ada gelitikan yang membangunkan saya dengan nyanyian "bangun.. bangun... hari sudah siang..."
Saya terduduk dan bingung melihat suasana begitu muram. Ada yang memijit kakinya, ada yang memijat pundaknya... ada yang mondar mandir, ada yang menangis terus... sementara ibu masih berusaha untuk menggapai nafas.
Sejenak saya langsung sadar, ibu pasti kambuh lagi sakitnya.

Tak lama kemudian, bapak masuk dan mengatakan bahwa mobil sudah siap.
Eh? Mobil? Ibu mau dibawa ke mana? Ibu belum menyapa saya... Kenapa ibu dibawa pergi?
Bapak juga tidak tampak melihat wajah saya...

Akhirnya, ibu dibawa ke RS Kebonjati. Saya ditinggal di rumah bersama bulik-bulik saya. Hari itu hari sekolah, kalo tidak salah. Tentu saja, hari mesti berjalan terus. Saya tetap mesti mandi pagi, walau itu hari Minggu, hari libur. Itu pesan bapak.

Setelah saya mandi, saya diajak ke rumah sakit oleh om Yayat, salah satu tetangga kami. Motor Binter-nya sudah siap mengarungi jalan yang sepi. Saya duduk di bagian depan, dan bulik Ana dibonceng om Yayat.

Dalam benak saya, saya ingin memeluk ibu. Sejak bangun tidur, saya belum memeluk dan mencium ibu seperti biasanya. Saya bersenandung riang, karena saya akan ketemu ibu.

Perjalanan begitu mulus dan tak lama kami pun sampai di jalan Kebonjati. Sesampainya di gerbang RS Kebonjati, rupanya ada bapak seperti hendak pergi dari rumah sakit. Saya berteriak memanggil bapak, dengan suara riang. Tapi, raut wajah bapak sedih. Ia hanya mengusap kepala saya, lalu memandang om Yayat dan bulik Ana sambil mengatakan sesuatu yang lalu membuat kepala om Yayat menunduk dan tangis bulik Ana membahana. Saya hanya mendengar samar-samar,"...sudah nggak ada..."

Apa sih, yang "sudah nggak ada"? Kenapa itu membuat bapak sedih? Kenapa itu membuat om Yayat sedih? Dan, kenapa tangis bulik Ana tambah keras??? Ada apa, sih???

Saya lalu berucap,"Pak, mau ke ibu..."
Bapak terdiam. Ia menarik nafas dalam-dalam... "Ibu sudah meninggal."

Apa?
Ibu.... sudah.... meninggal?

Bagi saya yang ketika itu berusia 5 tahun, saya sudah mengerti arti kata "meninggal atau meninggal dunia".
Berarti, saya ga punya ibu lagi? Berarti saya ga akan bisa jalan pagi lagi sama ibu?
Saya bahkan belum bercakap-cakap dengan ibu hari itu, ibu sudah pergi..... Lalu, saya pun ikut menangis. Bahkan ketika kami kembali ke rumah, di perjalanan saya tetap menangis.

Di rumah, suasana duka langsung menyeruak. Ruang tamu dikosongkan dan digelar tikar. Tenda dipasang di depan rumah. Suara tangis tambah banyak ketika jenazah sudah tiba. Yah, seperti itulah suasana duka. Saya tahu, saya kehilangan salah seorang yang mengasihi saya. Tidak ada lagi yang akan membangunkan saya dengan nyanyian. Tidak ada lagi yang akan mengajak saya jalan pagi dan merangkai bunga tanjung untuk jadi kalung. Tidak ada lagi yang akan mengikat rambut saya sehingga mirip ekor kuda. Tidak akan ada lagi hadiah rahasia menyambut saya sepulang sekolah.

Sudah 24 tahun berlalu... dan saya ga akan pernah bisa lupa kenangan manis bersamanya. I will always love you, mom... You always stay here, in my heart.

ah, ibu.... rasanya jadi pengen nangis, nih....
ibu apa kabar? di sana senang, bu?
semoga kubur ibu terang selalu, ya....
miss you so much, bu.....

Keterangan foto: sewaktu ibu saya masih jadi mahasiswa

0 comments: