Monday, February 25, 2008

Teman yang Baik Itu....

Teman yang baik itu adalah teman yang jelas-jelas mau dengar keluh kesah kita dan tak pernah bosan dengan itu
Mau memuji kita di kala kita emang layak dapat pujian
Mau membela kita di kala kita memang perlu dibela

Tapi...

Teman yang paling baik itu adalah teman yang mau mencela kita di saat kita emang perlu celaan. Bukan yang bermuka manis yang mengatakan bahwa gak-ada-masalah-dengan-apa-yang-kamu-perbuat, padahal, teman baik kita tau bahwa kita sudah melakukan kesalahan. Begonya lagi, ketika akhirnya temen baik kita mau melakukan itu, kita yang ga terima. Dan kita malah nyolot, marah, mengelak dituduh ini dan itu! Huh! Padahal, teman kita sayang sama kita dan dia melakukan suatu tindakan keberanian untuk mencela atau mengritik kita supaya kita ga salah lagi. Terlepas dari caranya bener atau salah. Karena, intinya dia sayang kita. Dan, kita selalu marah karena apa yang dikatakannya benar. Huh!!!

Dan sekarang, aku kangen sama temen baik yang sangat senang mengingatkanku ketika aku ngaco. Dia rela mencelaku sedemikian rupa, dengan resiko aku solot. Dan dia selalu berlapang dada ketika aku begitu....
Sejak aku menikah, dia menyerahkan itu semua pada suamiku....
dia ga peduli lagi sama aku...., karena dia ga mau cela-cela aku lagi seperti dulu.....huhuhuhuhu......

gambar diunduh dari sini

Friday, February 22, 2008

Emang, cuman istri atau anak doang yang bisa durhaka? Hah? Hah?

Susah buat cari kalimat yang lebih menyejukkan ketimbang yang di atas.
Udah kadung kesal, keuheul, gendok dan sebagainya.

Ceritanya, begini. Seorang temen baik dekat saya (XY, sebut saja dia begitu) sedang menghadapi sebuah masalah. Masalahnya ga bisa dibilang sepele, sih, secara, istrinya (XX, mendingan kita sebut begitu juga) meminta untuk mengakhiri hubungan mereka sebagai suami dan istri. Dan XX memilih buat membesarkan si kecil sendiri tanpa XY. Mau jadi single parent mungkin, yah...

Kalo dirunut, ceritanya ribet dan ga akan saya ungkapkan di sini. Selain saya kuatir ada miss komunikasi, miss pengertian dan miss miss lainnya, saya juga rada keberatan mengangkat permasalahan orang lain di dalam jurnal saya sendiri http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons6/10.gif" alt=":P"/>

Tapi, yang ingin saya ceritakan di sini adalah inti dari salah satu penyebab yang bikin XX ini minta pisah (mungkin) yaitu dia sudah kadung mendapat cap "istri durhaka" dari XY. Halus atau kasar. Langsung atau nggak. Tapi, dari yang saya baca, XX ini sangat memahami, bahwa suaminya sudah menganugerahinya gelar "istri durhaka". Soalnya, XX ini sedemikian sakit hatinya, begitu pula orangtuanya terhadap XY. Sehingga mengeluarkan jurus-jurus kalo mau ketemu anak mereka, XY ini mesti menempuh berbagai macam birokrasi yang sungguh menyedihkan menurut saya.

Tapi, saya bisa ngerti, kenapa XX bisa semarah itu. Bukan tugas XY sebagai suami untuk menganugerahi gelar "durhaka" pada istri atau anaknya. Bukan. Tugas dia sebagai suami adalah membimbing istrinya menuju kebaikan. Soal durhaka atau nggak, itu biar Allah saja yang menilai.

Saya berusaha kasih tau sama XY, bahwa sikap dia kurang tepat. Eh, si XY malah bales, coba kamu tanya sama suami kamu, kalo dia dapet istri dengan kelakuan yang sama. Bla..bla..bla... Saya tetap pada pendirian saya, bahwa suami atau orangtua ga boleh mencap istri atau anak mereka durhaka. Ga boleh.

Malamnya, saya langsung tanya sama pa-il (gelar yang diberikan om kucluk kepada papanya ilman, yang artinya papa-ilman-> dibahas? http://us.i1.yimg.com/us.yimg.com/i/mesg/emoticons6/4.gif" alt=":D"/>).
"Papa, boleh, ga, sih, suami ngasih stempel 'durhaka' ke istri?"
Pa-il langsung jawab,"ya, nggak boleh atuh! Emangnya suami ga bisa durhaka? Itu bukan tugas suami buat kasih stempel begituan. Tugas suami mah ngebimbing istrinya."
Pa-il emang ga nerusin kalimatnya. Tapi, dari nada cara dia berbicara, saya tau, dia marah banget kalo sampai ada suami yang begitu. Untung saja, saya ga cerita siapa yang jadi objek cerita.

Trus, saya bertanya juga sama pakdenya ilman. Pakde bilang, iya, ga berhak suami ngasih stempel begitu ke istrinya. Karena, salah bisa ada di pihak mana saja. Bahkan, blio pun kasih contoh, Siti Asiyah yang membangkang dari suaminya, Fir'aun. Apakah itu bisa dikatakan sebagai "durhaka"? Nggak, kan? Karena Asiyah membangkang untuk menuju kebenaran.

Bukan tugas kita untuk kasih stempel durhaka pada anak atau istri. Sebagai suami, boleh jadi kalian para cowoks, juga bisa durhaka sama istri kalian, kalo kalian nggak bisa bimbing istri kalian biar bisa jadi bener. Secara, yah, istri tuh amanah. Bukan mainan yang bisa distempel seenak udel.

Tugas kalian adalah membenahi pasukan kalian (keluarga) jika ada yang keluar jalur. Membimbing pasukan kalian untuk berjuang bersama-sama menempuh bahtera kalian. Jika istri kalian ga bisa dibimbing, bersabarlah. Tetap bimbing istri kalian semampu kalian. Bukan tugas kalian yang kasih stempel durhaka. Saya percaya, istri kalian juga ga bodoh dan mereka tahu, bagaimana istri durhaka itu. Seharusnya, kalian bisa membuat istri kalian sadar sendiri kalo mereka telah berbuat durhaka. Intinya, ga mesti istri yang durhaka, suami juga bisa dan sangat mungkin. Suami juga manusia. Tempatnya salah dan lupa juga.

Sebagai orangtua, kita juga ga boleh mencap anak kita durhaka, apapun kenakalan mereka. Tugas kita memperbaiki akhlaq mereka, karena mereka adalah amanah, titipan buat kita sebagai orangtua. Selama kita hidup, itulah tugas kita. Dan bukan tugas kita kasih cap durhaka sama anak. Karena, kita juga bisa saja menjadi orangtua durhaka yang tidak bisa memenuhi kewajiban kita dalam memenuhi hak-hak anak-anak kita.

Khusus buat XY: pernikahan kalian baru seumur jagung, tega bener udah berani-beraninya kasih stempel ke istri sebagai istri durhaka. Coba, deh, kalo kamu rada-rada bijaksana atau memang bisa bimbing istrimu, tentu hal seperti ini ga perlu terjadi. Banyak intropeksi dan istighfar, yah, bro!!!

thanks to pa-il yang sudah banyak dukung istri tercintamu!

Friday, February 15, 2008

Aku Benci Orang yang Suka Mentang-mentang Penting!!!!!

Pagi ini, udara dingin menusuk-nusuk tubuh. Sejak semalam, hujan turun dengan indahnya. Nggak deras, tapi stabil. Cukup gerimis, tapi turun ga berhenti. Dan itu berlangsung terus sampai pagi ini.

Rasa dingin ini sebetulnya membuat kita lebih tertarik untuk berdiam di dalam hangatnya di tempat tidur, dengan pelukan selimut tebal yang hangat, melanjutkan hibernasi kita. Tapi, apa daya. Sebagian dari kita, atau kebanyakan dari kita, harus memilih untuk melanjutkan hari dengan bekerja dan beraktivitas, melawan rasa dingin menusuk ini.

Sayangnya, di tengah usaha saya berusaha menentramkan hati untuk melawan udara dingin ini supaya alergi saya terhadap udara dingin ga kumat, ada seseorang yang membuat ketentraman hati ini memudar, bahkan menghilang. Sumbu petasan saya meledak seketika, tanpa ada ancang-ancang.

Hanya karena dia merasa load dia paling penuh, trus dia juga meremehkan bahwa aku cuma tukang ngetik di sini. Seolah-olah pekerjaanku ga pake otak, ga pake mikir. Padahal, seringkali, gara-gara Mister-Sok-Penting ini, kerjaan yang mestinya beres cepat, menjadi mulur banyak. Ketika ditegur, ancaman-ancaman keluar.

Saya tahu, dia ga perlu siapa-siapa di sini. Di sini, semua level IQ nya jauh di bawah Mister-Oh-Sok-Penting ini. Sayangnya, secara personal, saya sangat menyayangi orang ini dan sudah menganggapnya adik. Sejak kejadian ini, oke lah, ini emosi sesaat. Tapi, dari cara dia meremehkan orang lain, itu sudah menghancurkan citra diri dia di depan saya. Saya kecewa.

Selama ini, saya sering membela dia ketika sudah banyak yang mengeluhkan ketergantungan mereka pada dia dan dia tidak muncul ketika dia dibutuhkan. Tapi, sekarang? Setelah apa yang dia katakan? Sepertinya tidak lagi. Saya sudah tidak mau lagi membela dia. Sebab, ya, dia merasa bahwa dirinya lah yang paling penting. Kalo ga ada dia, dunia hancur. Lo pikir, lo tuh siapa? Emangnya kalo ga ada elu, ga ada orang lain yang bisa gantiin lu, apa? Tunggu aja, suatu saat lu akan sadar akan apa yang lu remehkan selama ini. Di atas langit, ada langit. Dan di atas langitnya langit, ada yang lebih berkuasa di atasnya. Jangan lupa itu!

Tuesday, February 05, 2008

tahu batas....

Beberapa hari terakhir ini, saya seperti ditunjukkan banyak hikmah...

Tentang becanda yang keterlaluan, tentang ketidakpekaan terhadap perasaan orang lain, tentang laki-laki yang selingkuh dari istrinya, tentang ibu yang merasa bersalah pada anaknya, tentang anak muda yang nggak sopan terhadap yang lebih tua, tentang kematian, tentang memaksakan diri untuk melakukan banyak hal di luar kemampuannya, dan masih ada banyak hal lagi yang membuat saya mencoba buat intropeksi diri.... hanya dalam beberapa hari saja!!!

Allah menganugerahi kita sebuah "kesempurnaan". Kita diberi nafsu juga pikiran. Dua-duanya saling membutuhkan. Masing-masing seharusnya bertugas saling menyeimbangkan. Tapi, seringnya hanya salah satu yang dominan dan itulah yang muncul dari perilaku kita. Kalo ga ngandelin nafsu, ngandelin pemikiran yang sama sekali ga berperasaan, gitu juga sebaliknya, kalo ga ngandelin pemikiran, ngandelin nafsu yang sama sekali ga dipikirin efek-efeknya.

Tapi, ya itulah ternyata. Semakin tinggi derajat kita, ternyata kita semakin diuji. Semakin nambah umur kita, jangan dikira kita makin nyantei. Satu hal yang saya bisa ambil hikmah dari semua ini: setiap kita naik kelas, kita harus menghadapi ujian dulu. Sekarang, gimana caranya kita menghadapi ujian-ujian itu. Ada yang diuji dengan kekurangan duit seperti saya (hahahahahaha), ada yang diuji dengan bertengkar sama temen (saya juga ini mah), ada yang diuji dengan candaan yang kelewat batas sehingga tersinggung luar biasa... dan seterusnya dan seterusnya...

Terkadang, kita terlalu sombong buat mengakui bahwa kita sebenernya masih perlu diingatkan orang lain. Saking sombongnya kita, kita selalu ngeles, selalu cari pembetulan setiap kita ditegur atau dinasihatin. Well, so human....

Itu yang bikin saya mikir. Selama ini, saya kebanyakan nyolot kalo dikasih tau yang bener. Saking seringnya nyolot, ketika saya ngasih tau sebuah kritik atau nasihat atas kesalahan seseorang, saya sering dicap "nggak-betul-cara-kasih-taunya" atau "saya-betul-tapi-bukan-di-waktu-yang-tepat", sehingga membuat pikiran saya beneran buntu, kapan-sih-waktu-yang-tepat-buat-kasih-nasihat-sama-orang-yang-kebetulan-berbuat-ngawur?

Dari situ, muncullah sifat kepengecutan saya sekarang. Saya memilih menghindari konflik, bersikap sok ga-ada-masalah, padahal saya tau di depan seseorang sedang ada masalah. Tapi saya memilih diam sampai akhirnya orang tersebut beneran ketimpa masalah. Ya itu tadi, saking saya beneran pengen menghindari konflik, akhirnya saya malah ga mau melakukan apa-apa buat kebaikan orang lain. Pengecut, kan??

Padahal, kalo kita bener-bener tau batas, ga perlu ada konflik, walau kadang konflik itu perlu buat koreksi diri. Kalo kita beneran tau batas, ga perlu lah kita menyinggung perasaan orang lain atau bikin sakit hati orang lain. Kalo kita tau batas, ga perlu lah ada istilah waktunya-ga-tepat atau wrong-talk-in-the-wrong-time. Setiap nasihat pasti maksudnya baik, apapun cara penyampaiannya. Kitanya aja yang terlalu sombong, sehingga kita kerap ngeles tiap ada yang kasih masukan, sebab reaksi pertama kita selalu mengungkapkan pembetulan...

Saya cuma teringat akan pesan seseorang yang sangat mengasihi saya: ibu direktur perusahaan di mana saya bekerja. Inti dari pesannya adalah: jangan lihat cara menyampaikan atau siapa yang menyampaikan suatu pesan, tapi tangkaplah inti dari pesan itu, karena itulah yang penting.

Suami saya juga pernah bilang,"jangan pernah minta apa yang ga dipunya dari orang yang kamu minta." Intinya sih, ga semua orang bakalan pernah nasihatin kita di waktu yang tepat atau dengan cara yang tepat. Setiap orang bersikap sesuai dengan kemampuannya masing-masing, kalo dia ga mampu berbuat sesuai dengan yang kita harapkan, tentu dia ga akan bisa melakukan apa yang kita harapkan.

So, maukah mulai sekarang kita belajar tahu batas?

note: gambar diambil dari sini

*kenapa ngambil gambar ga nyambung terus sih dari kemarin-kemarin posting?*