Monday, December 22, 2008

I Love You, (Step) Mom!

Bertahun-tahun setelah ibu yang melahirkan saya wafat, saya dipertemukan dengan seorang ibu yang kemudian membesarkan saya. Di tahun-tahun pertama kami, tidaklah mudah. Pertama, sekeliling saya terus menerus meneror saya dengan pertanyaan, "ibunya baik, ga?" Memangnya ada apa, sih, dengan ibu tiri? Oh, pasti gara-gara drama radio atau drama teve yang selalu saja menceritakan kalo ibu tiri tuh jahat. Wew! Saya bahkan punya tuh, dulu, kaset cerita dari Sanggar Cerita judulnya Ibu Tiri apaaa gitu lah... sampe dibuang sama ibuku ini, karena takut dikira mencuci otak saya. Pasti berat, ya, membesarkan anak yang tidak terlahir dari rahimnya sendiri, plus di tengah anggapan bahwa ibu tiri itu jahat. Sorry to say, but BIG NO! Ibu tiri itu nggak jahat. Dan saya sudah mengalaminya sendiri!

Saya mengerti, kenapa bapak memilih punya istri lagi. Itu semata-mata buat saya. Ketika itu saya adalah anak perempuan yang nggak lama lagi akan memasuki masa puber. Seperti menstruasi. Apakah seorang ayah akan bisa memberi pengarahan ini dan itu tentang menstruasi, sementara dia sendiri nggak pernah mengalaminya? Ayah saya nggak ngerti problem klasik perempuan. Apalagi, tante saya jauh semua. Nenek juga jauh. Siapa yang akan kasih saya pendidikan tentang keperempuanan kalo bukan ibu? Walau berat hati dan rasanya aneh, tapi perlahan saya bisa menerima beliau. Pertama kali jadi ibu saya, beliau bener-bener protect banget sama saya (baca: ingin tahu semua rahasia saya, termasuk baca diary saya yang kemudian membuat saya malas menulis diary). Tapi kemudian saya tahu, ibu saya takut kalo saya nggak pernah mau cerita apa-apa pada beliau. Beliau kan pengen dong, anaknya curhat sama beliau. Beliau juga takut, kalo saya jatuh cinta trus berbuat yang nggak-nggak, saking terlalu panjangnya daftar larangan buat saya. Saya ingat betul, bagaimana ibu bener-bener strict dalam memilih saluran dan acara tv buat saya. Selama usia saya belum 17 tahun, saya tidak diperkenankan menonton drama atau film cinta-cintaan. Nanti pecah bulu, begitu istilahnya. Semua yang ibu lakukan ada baiknya. Ketika saya sudah berumur 17 tahun dan sudah punya hak buat melihat itu semua, saya merasa tabu dan ga perlu. Saya memang malu kalo nonton adegan ciuman atau pelukan di tv. Rasanya bukan buat tontonan umum, deh!

Dan sekarang, ibu sudah 22 tahun ada di dalam keluarga kami. Ibu yang membesarkan saya, orang pertama yang saya kasih tau ketika saya dapat haid pertama saya. Orang yang pertama tahu, ketika saya pacaran. Orang yang pertama tahu saat saya sakit.
Jadi orang yang pertama tahu ketika saya mengalami sakitnya patah hati dan meminta saya buat move on, sembari menyodorkan pahanya buat saya basahi dengan air mata saya. Yang membelai saya ketika tahu saya menangis diam-diam. Yang mempersiapkan semua urusan pernikahan saya. Yang nemenin Fahmi ketika saya akan melahirkan. Yang rajin mengomeli saya ketika saya mulai nggak sabar pada Fahmi dan Ilman. Tempat saya titipi Ilman yang saya percayai untuk mengasuhnya. Ibu yang selalu menyemangati saya untuk menyelesaikan kuliah. Yang menyiapkan makan kami.

Ah, ibu.... ibu bukan orang lain! Ibu sama saja seperti ibu yang melahirkan saya. Maafin semua kenakalan Mbak, ya, Bu... Mbak tuh sayaaaaaaaang banget sama ibu... Mbak pengen banget melakukan sesuatu biar ibu bahagia... Selamat Hari Ibu... semoga Ibu tetap sehat dan Allah memberikan rahmat tak terhingga buat Ibu... Love You, Mom!

-- tulisan ini juga ditulis buat dikirim ke MustikaFM dalam acara To Mom With Love --
thanks, Popi, buat chance-nya.... mmmuuaaahhh!!!

0 comments: