Monday, January 31, 2011

Keresahanku

Ketika saya aktif di PAS dulu dan sesudahnya, banyak yang berkonsultasi soal kegiatan untuk anak-anak pada saya. Misalnya, "kak, punya ide apa, nih, buat bikin acara anak-anak yang dibawa ke arisan?" atau "Kak, bahan finger painting apa, sih?" atau "Kak, ada ide ga? Mau bikin acara buat anak-anak, lokasinya di sini, tempatnya begini dan begitu... bla bla bla..."

Biasanya, saya tokcer kasih mereka ide dan gampang sekali menjawab. Bahkan meski saya sudah bertahun-tahun jadi alumni PAS, masih aja ada yang sms sekedar nanya ide itu. Tidak sedikit juga, beberapa ibu yang anak-anaknya dulu saya mentorin, berkeluh kesah pada saya, minta dibantu cari jalan keluarnya, kalo mereka punya masalah komunikasi dengan anak mereka, seakan-akan saya sangat mengenal anak mereka atau jangan-jangan mereka nyangka saya ini psikolog perkembangan anak, ya? Hihi... Ada tampang gitu? :p

Beberapa waktu lalu, saya bertanya pada salah satu teman lama yang pernah aktif di PAS juga, nanyain, "eh, kegiatan apa, ya, yang bikin anak kita betah mengerjakannya?" Dia lalu menjawab, "Lah? Kak Peni kan jagonya? Kok malah nanya saya? Biasanya, kan, saya yang tanya sama Kak Peni?" Jujur, saya terhenyak. Kalo dia nggak balik bertanya seperti itu, saya sudah betul-betul lupa seperti apa saya di masa lalu. Haha. Kenapa? Mungkin ada sesuatu yang membuat saya resah, lalu membuat saya abai soal kreativitas buat anak, meski saya punya anak balita. Well, baiklah, saya akan ceritakan keresahan saya ini...

Dua tahun lalu, ketika Ilman mulai memasuki usia 2 tahun, pas kami bertiga mengunjungi ibu mertua di Garut, kakak nomer dua pa il tiba-tiba bilang ke pa il, "Mi, parioskeun Ilman, bisi aya nanaon." (Mi, periksain Ilman, takut ada apa-apa). Saya tersentak. Memangnya, Ilman ada masalah apa? Kok, sampai harus diperiksakan? Maksudnya kenapa, nih? Sakit parah juga nggak pernah, kok, mesti diperiksain. Saya betul-betul nggak ngerti, tapi saya diam saja.

Sampai di Bandung, saya nggak tahan lagi, saya langsung tanya sama pa il. "Maksud aa tadi bilang gitu ke papa, apa?" Pa il jawab, "Iya, Ilman kan belum ada tanda-tanda bisa bicara, jadi ya disaranin biar diperiksain, takutnya ada apa-apa."

Saya langsung ketus menjawab, "Ilman nggak kenapa-kenapa, kok! Dia baik-baik aja. Aa kan jarang ketemu Ilman, tahu apa dia soal Ilman?" Pa il yang lelah dan nggak mau ribut cuma jawab, "Iya, Bunda tahu lebih banyak dari papa bahkan aa. Bunda kan ibunya, Bunda lebih tahu apa yang terjadi pada Ilman."
Saya nggak puas, saya bilang lagi, "Keponakan Papa kan ada yang baru bisa bicara setelah lepas tiga tahun! Buktinya, keponakan Papa itu sekarang seneng bicara. Bisa jadi, Ilman seperti itu juga, kan?"
Pa il menghela napas dan menjawab, "Iya."
End of conversation.

Ya, gimana saya ga "menolak" anggapan kakak ipar, umur 5 bulan, Ilman udah bisa manggil "buah" *maksudnya bunda* ke saya. Udah bisa panggil papa. Meski itu bubbling. Udah bisa bilang "ha" "da" dan beberapa konsonan lainnya, di masa-masa bubbling itu. Umur dua tahun sudah kenal konsep huruf. Sudah bisa baca ba bi bu be bo sampai za zi zu ze zo, meski untuk beberapa konsonan, ga keluar. Sudah bisa menirukan perintah, semacam "tepuk tangan" ketika saya menyanyi "if you're happy and you know it clap your hand!" dst dst... Dan Ilman sudah bisa main ponsel juga ngoprek radio dan dvd player sejak 2 tahun. Wajar, kan, kalo saya agak tersinggung dengan label macam itu pada Ilman?

Tapi, terus terang, kalimat kakak ipar saya terus menerus menghantui saya. Apa iya, Ilman berbeda dengan anak-anak lain? Ah! Saya jadi gelisah! Sampai suatu ketika, saya ketemu di Y!M dengan salah satu kakak kelas saya di SMA *jauh, sih, kakak kelasnya, beda 4 angkatan, ga ketemu jadinya* yang kebetulan punya anak penyandang autism.

Saya ngobrol banyak dengan beliau, sambil nanya-nanya gejalanya apa. Saya mulai memberanikan diri untuk browsing tentang anak dengan ADHD. Beliau bahkan memberikan saya "tes" berupa beberapa pertanyaan dasar untuk melihat kemungkinan apakah ada ADHD yang menempel pada Ilman. Setelah menjawab beberapa pertanyaan beliau, saya lega, karena beliau bilang, "kayaknya Ilman ga autistik, Teh. Tapi, jangan santai dulu, kayaknya ada gangguan perkembangan lain. Jadi, ya, saran saya, tetap dibawa ke dokter spesialis tumbuh kembang."

Keresahan ini saya ungkapkan pada kedua orangtua saya. Tentu saja mereka bereaksi seperti halnya reaksi awal saya dulu. Nggak terima kalo Ilman tidak seperti anak kebanyakan. Walau mereka memang sering bertanya-tanya, "Kok, Ilman ga bisa dibujuk dengan 'nanti dibeliin balon' saat dia nangis? Atau 'ya, nanti dibeliin permen, cup jangan nangis'." Dan terkadang, orangtua saya kuatir tiba-tiba Ilman bilang, "Minta uang buat jajaaaan..." lalu nangis guling-guling. Karena hal itu biasanya sudah terjadi pada anak usia dua tahun, kan? Dan Ilman tidak melakukan itu.

Saya mulai memberanikan diri bicara dengan pa il soal itu. Ternyata, pa il memang sudah melakukan riset terlebih dulu, tanpa bicara sama saya. Intinya, ya, itu. Dia takut saya tersinggung atau marah lagi. Hehe. Pa il lalu kasih saya tautan tentang photography memory. Ya, saya ingat, Ilman punya itu. Suatu ketika, saya minum jamu sakit bulanan Ki***ti di depannya, lalu dia mengamati botolnya langsung merebutnya. Begitu si botol sudah di tangannya, dia langsung melarikan botol itu ke ruang TV, mencari-cari. Saya ikuti, dan Ilman menarik kaleng wafer Ta**o dari kolong meja, lalu menjejerkan dua produk berbeda itu. Ternyata dia menemukan logo yang sama, "OT". Saya tersentak. Tidak terpikir oleh saya yang orang dewasa untuk mengamati hal remeh temeh seperti itu, sementara untuk anak sekecil dia, yang usianya waktu itu belum dua tahun, sudah bisa memperhatikan hal-hal seremeh itu. Amazing ada. Takut juga ada.

Terus, pa il nyuruh saya buka wikipedia tentang anak autism. Di sana, saya mendapati gambar seorang anak yang tertidur di depan mobil-mobilan yang dijejer sangat panjang. Lagi-lagi napas saya tercekat. Ilman sering menjejerkan mobil-mobilan seperti itu. Tapi, awalnya saya pikir, karena dia sering lihat mobil banyak di parkiran. Begitu juga dengan magnet lemari es. Ilman sering menyusunnya menjadi barisan yang panjang. Juga masalah sepeda. Ilman lebih suka memutar rodanya dengan cara membalikkan sepedanya, ketimbang sepeda itu dinaikinya. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis saya. Apakah Ilman punya gejala itu?

Akhirnya, saya sepakat dengan pa il, untuk membawa Ilman ke dokter tumbuh kembang. Awalnya, saya minta teman pa il, yang kebetulan berprofesi sebagai terapis autistik, untuk "melihat", kira-kira Ilman ada gejala itu atau tidak, hanya dengan sekelebatan mata saja. Karena, orang ini pernah bilang, dia bisa melihat seorang anak dengan autis atau tidak hanya dengan sekali menatap matanya saja. Cuma, waktu sama Ilman, dia bilang, "Ilman ga autis, Pen. Dia mah genius, pinter teuing. Jadi, ngerasa sudah bisa melakukan segala sesuatu, jadi kayak ga butuh orang lain." Percaya nggak percaya, ya. Lalu dia melanjutkan, "yah, kalo ga percaya sih, bawa aja ke dokter. Atau, sebelum dibawa ke dokter, kamu bikin catatan aktivitas dia selama 2 minggu, tiap hari 24 jam, jangan pernah putus, termasuk dietnya, segala macam. Jadi, pas kamu ketemu ahlinya, kamu udah punya catatan pengamatan selama 2 minggu itu, buat jadi referensinya."

Sayangnya, sampai sekarang, si catatan 2 minggu itu belum juga terkerjakan. Saya dan pa il akhirnya memilih buat langsung menemui dokter tumbuh kembang. Sebetulnya, saya punya banyak teman dengan latar belakang pendidikan psikologi, tapi TIDAK SATUPUN yang mengambil bidang Psikologi Perkembangan Anak! *keluh*

Lalu, saya dan pa il bawa Ilman ke salah satu pusat tumbuh kembang di daerah Bagusrangin. Di sana, Ilman diobservasi selama 1 jam oleh dokter tumbuh kembang. Dokternya bilang, "Anak ini tidak memiliki ciri-ciri autisme, Bu. Terapi wicara saja sepertinya cukup. Tapi, dia harus diobservasi lebih lanjut oleh psikolog. Sabtu ini dicoba saja. Sama sekalian tes berra (tes pendengaran), mungkin ada suara-suara yang tidak dia dengar." Hari Sabtu yang dijanjikan itupun, Ilman diobservasi. Sebelumnya, Ilman dicobakan terapi wicara dulu, di lembaga yang sama. Hasilnya, selama sesi terapi wicara, Ilman malah nangis melulu. Yah, gimana ga nangis. Ruangan tempat terapi wicaranya sempit, agak gelap dan spooky, sama orang asing yang ga dia kenal. Saya rasa, itu bukan cuma masalah anak berkebutuhan khusus kalo harus langsung adaptasi tempat macam gitu. Saya aja yang normal (mungkin) butuh waktu buat adaptasi ada di ruangan macam gitu.

Selama observasi oleh psikolog perkembangan anak dan terapis itu, Ilman nangis melulu. Soalnya, Ilman memang ga mau disuruh. Sebelumnya, sang dokter sempat bilang, kalo Ilman nih "stubborn" dan mau-maunya sendiri aja. Sayangnya nggak ada catatan tertulis dari si psikolog, dia cuma bilang, kalo Ilman butuh terapi perilaku. Begitu saya lihat biayanya, lutut langsung lemes. Asli ga akan kebayar dengan tarif ajaib ini. Saya sempat down, kenapa sih, buat anak-anak berkebutuhan khusus seperti Ilman dan teman-temannya, biayanya nggak sedikit? Uang dari mana? Oke, saya dan pa il memang kerja. Tapi kalo kami cuma fokus bayar sekolah Ilman, kebutuhan-kebutuhan pokok lain ga mungkin terpenuhi. Belum lagi masalah "siapa yang bakalan antar jemput Ilman?", karena nggak ada jadwal yang available buat kami berdua. *keluh*

Akhirnya, Ilman "dibiarkan" dulu, sambil kami berdua berusaha mencari tahu semoga bisa ditemukan cara terapi yang mudah dan berbiaya tidak banyak.

Selama itu, orangtua saya masih sulit buat menerima kalo Ilman harus diterapi. Kadang, ibu saya menyalahkan saya. Mulai dari karena saya terkena radiasi komputer selama hamil lah, apa lah. Belum lagi, beberapa teman yang tahu ini, malah menyalahkan karena saya kerja, jadi Ilman kurang perhatian. Grr... sotoy banget, sih! Tahu apa mereka? Terus terang, ini membuat saya down banget. Udah mah harus bisa nerima kenyataan bahwa anak saya berbeda dari anak-anak kebanyakan, dapat tuduhan dari sana sini... Yeah... memang, kalo nggak ada di posisi orang yang mengalami, orang yang ngasih advice tuh lebih cenderung sotoy (eyerolling).

Sementara itu, saya sering bertanya pada ibu-ibu yang anaknya sebaya Ilman, "gimana sih, caranya biar anak tuh cepet ngomong?" Jawaban mereka sama semua, "Sering diajak ngobrol, Bu..." Wew.. ga salah, tuh? Semua orang juga tahu saya ini bawelnya parah... Mana mungkin Ilman ga diajak ngobrol. Dan sekeluarga saya semuanya suka sekali ngobrol.. jadi, kayaknya kalo masalahnya ga pernah diajak ngobrol... saya ga bisa terima, deh! Hahaha...

*bersambung*

Friday, January 28, 2011

Rapor 2010

Mungkin saya memang telat, baru bikin rapor 2010 hari gini. Hihi. Abisnya, di akhir tahun, kerjaan numpuk, trus didukung rasa malas, akhirnya ga jadi-jadi deh, rapornya.
Tapi, toh, masih Januari juga... cuek aja, deh, telat banget juga...

Mulai dari mana, ya, tapinya?

Pertemanan
Tahun ini, saya mesti melepas beberapa (yang tadinya) teman baik. Alasannya, karena beberapa orang itu ternyata tidak membawa kebaikan buat saya. Malah sempat membuat hubungan saya dengan suami berantakan gara-gara mereka. Nggak hanya itu, nggak begitu banyak pengaruh baik dari mereka untuk saya, karena kebetulan cara bicara mereka kasar dan kerap membawa energi negatif bagi saya dan ga bawa manfaat. Sebetulnya berat melepas teman, but it's for my own sanity, juga kebaikan keluarga saya. Tapi ga sedikit juga saya dapat teman baru, sebagai gantinya. Hehe.


Baca
Trus soal baca. Niat sih menggebu-gebu, ye... Tapi trus karena mulai sibuk, akhirnya bacanya banyakan ngadat. Apalagi pas awal-awal hamil, sama sekali nggak kuat baca. Tapi pas akhir tahun, mulai baca lagi, deh.


Motret
Huhuhu... ini kisah tragis. Pengennya motret sehari satu trus diaplot. Menjelang akhir Januari 2010 lalu, pa il tiba-tiba sakit. Otomatis, energi tercurah buat ngurusin beliau. Motret pun terbengkalai. Perlu waktu 2 minggu untuk sehat! Mestinya itu nggak menyurutkan langkah saya, tapi ngaplot foto untuk 2 minggu, bukan hal yang mudah buat saya. Hehe. Soalnya, kebetulan juga, di saat pa il sakit, saya ngurus sendirian. Ibu dan bapak lagi out of town ketika itu. Ya ngurus ilman yang lagi masa-masanya butuh perhatian besar, papanya pun demikian.

Tapi di luar project 365 days, saya tetep motret walau semangat langsung drop, gara-gara ada seseorang yang bilang, foto-foto saya sampah semua. Hiks... Asli sakit hati, masa iya, anak saya *yang sering jadi objek foto saya* adalah sampah. Meski banyak yang menghibur, saya tetep bete. Hahaha...

Cuma, ada "prestasi" yang boleh dibilang bikin saya senang tahun lalu itu. Foto saya menang di detikhealth.com ketika itu. Hehe... Yah, hadiahnya sih ga seberapa, kalo beli barang-barang itu ga nyampe 300rebu *sesuai janjinya*. Tapi, ya sudahlah, buat saya yang nubie, saya cukup senang.

Scrapbook
Don't ask me about it. Saya sudah dipecat beberapa desainer kit gara-gara ga bisa ngerjain layout tepat waktu. Koneksi internet yang bermasalah juga mood yang entah kenapa sulit sekali saya kumpulkan jadi kendala utama. Tapi masih ada satu designer yang baik banget, mau nerima saya kembali tahun ini. Mungkin akan dicoba mulai Maret nanti. Hehe...

Nulis
Justru malah makin jarang aja nyentuh blog. Bahkan untuk blog walking sekalipun!


Ada banyak yang saya resolusikan, terutama soal pengendalian diri. Tapi, seiring berjalannya waktu, saya malah dikasih banyak masalah yang berhubungan dengan temperamen, yang ternyata berhasil membentuk karakter saya. Apa saya masih pemarah? Hmm.. mungkin, meledak-ledaknya pas saya belum siap nerima semua masalah itu, plus masalah hormonal trimester awal. Tapi, setelah trimester awal terlalui, saya udah mulai reda dan bahkan udah mulai mengabaikan segala sesuatu yang bisa menjadi penyulut kebakaran emosi itu. Hehe... Mudah-mudahan sih, seterusnya.


Lalu, tahun ini? Apa saya bikin resolusi? Nggak. Saya nggak bikin resolusi apa-apa. Saya ingin menjalankan hidup sesuai dengan yang sudah ditentukanNYA, berusaha sebaik-baiknya menjalaninya. Klise? Ya, itu benar. Hehe. Yang susah kan konsistensi menjalankannya dengan baik.

Boleh dibilang, tahun 2010 adalah tahun terburuk soal pertemanan. Kalo karir sih, saya memang nggak punya niat buat ngoyo jadi seseorang dengan jabatan tertentu kalo harus mengorbankan waktu pribadi dan keluarga. Saya butuh kerja, iya. Tapi saya ga (atau belum?) butuh jabatan tertentu sebagai achievement. Yang saya tahu, saya cuma ingin berkarya, takutnya kalo saya duduk di jabatan tertentu, saya lupa sama idealisme saya untuk berkarya. *ngomong apa sih, ini?*

Rencana buat kasih ilman adik di tahun 2010, memang alhamdulillaah dikabulkan, tapi waktunya memang sedikit bergeser. Maksudnya, lahirnya baru tahun berikutnya. Hehe. Doakan saja, ya...

Mungkin saya memang nggak perlu bikin resolusi. Yang penting jalankan saja hidup dengan baik dan benar tanpa perlu ngoyo. Yang penting semua well organized dan bukan berarti sangat nyantai. Hohoho... Soal ilman gimana? Nanti saya postkan di tulisan berikutnya... Alhamdulillaah, masih diberi kesempatan buat memperbaiki diri di tahun berikutnya. Semoga.