Thursday, July 19, 2012

The Magic Song

Ada yang tahu lagu It Might Be You - Stephen Bishop?

Ini lagunya

Liriknya ini:

Time, I've been passing time
watching trains go by

All of my life lying on the sand
watching seabirds fly

Wishing there would be
someone's waiting home for me

Something's telling me it might be you

It's telling me it might be you

all of my life

Looking back as lovers go walking past
all of my life

Wondering how they met and what makes it last

If I found the place, would I recognize the face?

Something's telling me it might be you


Yeah, it's telling me it might be you

So many quiet walks to take
So many dreams to wake

And we've so much love to make

Oh, I think we've gonna need some time
Many be all we need is time

And it's telling me it might be you all of my life

I've been saving love songs and lullabies

And there're so much more no one's ever heard before
Something's telling me it might be you

Yeah, it's telling me it must be you

And I'm feeling it'll just be you all of my life


May be it's you
(It's you)
Maybe it's you
(It's you)
I've been waiting for all of my life


Pertama kali denger lagu ini kapan, ya? Yang jelas, sejak pertama dengar lagu ini, saya langsung suka. Langsung gedebug in lap sama lagu ini. Dan ketika saya dengar untuk ketiga atau kelima kalinya, gitu, ya, entah kenapa, saya figure out suatu sosok. White, tall, with short wavy hair, dan yang paling penting: punya tampang rada Arab, meski ga jelas banget juga, sih. Agak samar. Tapi saya tahu, garis wajahnya ya tampang Arab gitu. Bukan tampang Cina, Jepang, atau Korea.

Padahal, saya pikir, karena saya ada keturunan Cina dari mbah buyut saya, mungkin aja "it might be you"-nya masih turunan Cina juga :D

Waktu saya mulai punya pacar (bukan Pa il, sih. tapi pacar saya cuman satu itu, ga pernah gonta ganti), saya berusaha mengganti image di benak saya setiap saya dengar lagu ini dengan pacar saya. Tapi nggak pernah berhasil. Sosok muka Arab ini, meski samar-samar, selalu muncul.

Lalu saya ketemu Pa il, kami bersahabat, terus saya putus dari pacar saya, nggak lama dari situ Pa il menawarkan untuk punya hubungan serius more-than-just-friend dengan saya hingga akhirnya kami menikah. Selama dengan Pa il, saya belum pernah dengar lagu "It Might Be You" lagi, sampai beberapa hari yang lalu.

Tiba-tiba saya terngiang-ngiang dan pengen dengar lagi. Sebelum dapat lagunya, saya nyanyi dulu aja sendiri. Sosok itu muncul lagi. But it's clearer. Wajahnya jelas. Sosoknya jelas. Pa il.

Saat saya mendengar pertama kali lagu ini beberapa hari lalu, saya merinding. Ada banyak lagu yang isinya ngarep, curcol, dan lainnya. Tapi ya cuma lagu. Biasa aja. Ga pake ngebayangin siapa sosok yang ada di lagu itu. Baru lagu ini, deh, yang beneran punya kesan magis buat saya. Horor, ya...

Tapi bagaimana pun cerita mistis di balik lagu ini, saya tetap suka. Sampai hari ini, sampai detik ini. Dan saya senang, ternyata sosok yang ada di benak saya setiap dengar lagu ini sudah sangat jelas. Dia adalah imam saya, papa dari dua anak-anak saya dan orang yang selalu saya rindukan setiap saat. :D

semalem...

Monday, July 16, 2012

ketimbun buku...

http://mata-p3n1.blogspot.com
ini blog buku saya. cuma ngomongin buku yang saya baca dan (niat) buat direview. juga buat ngomongin hal-hal yang berhubungan dengan buku atau genre bacaan :D

Wednesday, July 11, 2012

Misteri Ms. R

Sejak mulai dekat, saya dan Pa il jarang sekali ikut campur urusan masing-masing. Sebelum menikah, memang sih, kami suka bertukar password email. Tapi itu semata-mata untuk beberapa urusan. Sebab, waktu itu buat pasang internet di rumah, harganya mahal banget. Jadi, kalo kebetulan saya di warnet, saya suka buka akun email Pa il dan membantu mengunduhkan sisipan. Begitu juga sebaliknya. Jadi, nanti kami bertemu, bertransaksi bertukar disket. Jadul banget, ya...

Begitu juga setelah kami menikah. Boleh dibilang, baik saya maupun Pa il, jarang dengan sengaja mengecek ponsel pasangan. Entah itu ngecek kotak masuk atau call log. Rasanya, kok, kayak yang nggak percaya sama pasangan sendiri kalo sampai berniat begitu. Apalagi sejak Pa il pake BB. Sering banget BB-nya bunyi. Trang tring trung. Pasti itu notifikasi ada BBM yang masuk. Apakah saya berminat mengecek BBM yang masuk? Kalo nurutin curiousity sih, mungkin iya. Siapa, sih, yang tengah malem iseng kirim BBM? Nggak tidur apa? Tapi, toh, Pa il nggak pernah terbangun hanya gara-gara ada BBM masuk.

Tapi pernah, nih, beberapa tahun yang lalu, sebelum Pa il mulai pakai BB, malah, ada hal yang membuat saya gelisah dan curiga. Setiap Pa il sedang main sama anak-anak atau sedang di kamar mandi, atau sedang tidur bahkan, suka ada telepon masuk. Lihat dari Caller ID-nya sih, namanya Ms. R. Sering banget sih, Ms. R ini nelpon Pa il? Tapi nggak saya angkat. Saya biarkan saja.

Belum lagi, kalo ada telpon masuk dari Ms. R itu ketika Pa il siap siaga nerima panggilan telepon, Pa il mengambil ponselnya, lalu menjauh dari kami dan berbicara dengan lawan bicaranya di luar ruangan. Kadang di luar rumah. Demi mendapat sinyal yang bagus atau supaya nggak terdengar oleh saya?

Ah, dasar, ya. Rasa penasaran mulai menggelitik hati saya. Padahal, sikap Pa il nggak ada yang berubah. Konon, kalo suami sudah mulai doyan perempuan lain, sikapnya berubah total. Entah itu lebih cuek atau justru makin mesra sama istrinya supaya nggak ketahuan belangnya. Katanya, lho... Amit-amit, deh, kalo sampai ngalamin mah! *ketok meja*

Setelah beberapa hari mendapati kejadian seperti itu, saya mulai mengendap-endap ngecek ponsel Pa il. Yang pasti, ketika saya melakukannya, keringat dingin mengucur. Degdegan nggak kentara. Takut ketahuan, lalu Pa il marah. Atau malah sebaliknya. Saya justru takut mendapati hal-hal yang saya "inginkan". Maksudnya, hal-hal yang saya "inginkan" ini adalah hal-hal yang saya takuti dan menghantui saya selama ini. Bukan ingin beneran, lho.

Saya mulai menelusuri Inbox dan Sent Message di ponsel Pa il. Padahal waktu itu masih ponsel jadul. Belum pake BB. Saya betul-betul membuka semua pesan dari seseorang bernama Ms. R. Duh. Memang, sih, nggak ada pesan mesra. Tapi, kayaknya mereka janjian di suatu tempat. Pesannya singkat-singkat aja. Kayak di folder Sent Message, pesan yang ditulis Pa il kurang lebih: “iya”, “sebentar lagi”, “ditunggu”, “tunggu sebentar, ya”. Sementara di Inbox, saya nemu SMS yang ditulis Ms. R ini juga singkat. Kayak kode gitu. Misalnya, “bagaimana?”, “sudah di mana?”, “masih lama?”. Hueeeeh. Istri mana yang bisa tenang – yang udah lah penasaran terus pas bekerja menjadi detektif – malah nemuin pesan-pesan kayak begini?

Siapa ini Ms. R? Dan kenapa nggak ditulis dengan jelas R-nya siapa. Ini kan justru membuat saya curiga. Saya memikirkan semua nama perempuan yang mungkin untuk “R”-nya ini. Rina, Rani, Reni, Reti, Rima, Rida, Rila, Runi, Risma, Resti, Revi, Rini, Rika, Rose, Raya. Argh! Kayaknya belum pernah dengar nama perempuan teman kantor Pa il berawalan “R” selain “Revi”, yang saya kenal. Eh, lagian, Revi udah nggak di kantor Pa il sejak lama, kok. Dia hanya beberapa bulan aja di kantor Pa il. Lalu kenapa “R”-nya ini disembunyikan?

Hingga suatu hari, seperti biasanya, hari Sabtu adalah hari di mana Pa il bermain futsal dengan teman-teman kantornya. Hari itu, nggak tahu kenapa, Ilman rewel banget. Intinya Pa il dibuat kesiangan berangkat ke lapangan oleh kami berdua, saya dan Ilman. Dan saya sengaja menyembunyikan ponsel Pa il. Soalnya, pagi-pagi, saya sempat lihat Pa il terima telepon dari Ms. R ini. Jangan-jangan nanti mereka ketemuan di lapangan futsal? Hedeeeh! Anak istri di rumah mendambakan bisa berakhir pekan sama dia, ini kok malah janjian sama cewek lain, sih!

Pokoknya, rasakan, Ms. R! Nanti kalo Ms. R ini nelpon, bakalan saya damprat habis-habisan. Sembarangan banget ganggu suami orang, hah! Benak saya sibuk menyusun kata-kata penuh emosi untuk mendamprat Ms. R ini. Huh! Belum tahu, ya, Ms. R ini, kalo “Judes” adalah nama tengah saya?

Ternyata benar! Voila! Sekitar jam 9 pagi, ponsel Pa il berdering. Ya! Tebakanmu benar! Ms. R yang nelpon! Dengan rasa percaya diri (padahal sumpah, deg-degan banget waktu itu, sampai gemetaran), saya tekan tombol “answer” dan saya buat suara seelegan mungkin untuk menyapa dia yang ada di seberang sana. “Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Selamat pagi. Dengan istri Bapak Nasrudin Fahmi di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Dalam hati saya berujar, mampus, lu. Bentar lagi gue semprot. Jangan berharap yang jawab ini telepon adalah suami gue, ya!

Dijawablah dari seberang sana, “Wa ‘alaikum salaam. Bu, Pak Fahmi-nya ada?”

Eh? Sebentar.... Kok, suara laki-laki yang jawab?

“Pak Fahmi sedang ke lapangan futsal, Pak...”

“Oh, sudah berangkat, ya. Sudah lama? Kenapa belum muncul aja, ya?”

“Baru sekitar lima belas menit yang lalu. Mungkin sebentar lagi sampai, Pak. Kalo nggak macet.”

“Oh, ya udah atuh, Bu, kalo gitu, mah. Saya tunggu aja di sini.”

“Maaf, Pak. Ini dengan siapa, ya?” Pertanyaan bodoh, saya akui. Tapi saya harus tahu siapa nama penelepon. Siapa tahu, orang ini pinjam ponsel Ms. R atau disuruh Ms. R buat nelpon ke ponsel Pa il. Mungkin saja, Ms. R ini tiba-tiba merasa kalo saya sudah mencurigainya sejak lama, jadi meminta orang lain yang notabene laki-laki, menelepon Pa il.

“Ini dengan Pak Mis, Bu. Ya sudah, saya tunggu Pak Fahmi di lapangan kalo begitu. Terima kasih, ya, Bu. Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalaam.”

Ms. R itu laki-laki? Tapi dasar, ya. Saya masih nggak percaya. Saya beneran nunggu Pa il pulang siang itu.

Sepulangnya Pa il dari lapangan futsal, mandi, makan siang dan mulai nonton TV, saya dekati Pa il sambil nyerahin ponselnya. “Papa, tadi pagi ada telpon. Dari Ms. R. Tapi suaranya kok, suara laki-laki, ya?”

“Oh, dari Pak Mis. Iya, kan, main futsalnya se-tim sama Papa.” Pa il menjawab dengan lempeng jaya. Iyalah, lempeng. Orang emang nggak ada yang sedang ditutup-tutupi. Dan dia memang sedang bicara jujur.

“Terus, kenapa itu ditulisnya Ms? Bukan Mis? Kayak perempuan aja.”

“Hmmm. Papa buru-buru waktu itu. Kan emang lagi sibuk nyiapin tender, Bun... Terus ya kelupaan mau ngedit. Toh, yang penting sudah jelas nomernya siapa.”

“........”

Saya jadi malu. Sudah curiga pada Pa il yang sejak dulu sayang saya apa adanya nggak pakai syarat apa pun. Nggak pernah menaruh curiga pada saya, meski saya sering cerita tentang semua sahabat saya yang rata-rata laki-laki. Dan nggak pernah menginterogasi saya setiap kali menerima telepon curhat dari beberapa sahabat laki-laki saya. Huhuhu. Maafkan Bunda, ya, Papa...

Tuesday, July 10, 2012

Misteri Ms. R

Sejak mulai dekat, saya dan Pa il jarang sekali ikut campur urusan masing-masing. Sebelum menikah, memang sih, kami suka bertukar password email. Tapi itu semata-mata untuk beberapa urusan. Sebab, waktu itu buat pasang internet di rumah, harganya mahal banget. Jadi, kalo kebetulan saya di warnet, saya suka buka akun email Pa il dan membantu mengunduhkan sisipan. Begitu juga sebaliknya. Jadi, nanti kami bertemu, bertransaksi bertukar disket. Jadul banget, ya...

Begitu juga setelah kami menikah. Boleh dibilang, baik saya maupun Pa il, jarang dengan sengaja mengecek ponsel pasangan. Entah itu ngecek kotak masuk atau call log. Rasanya, kok, kayak yang nggak percaya sama pasangan sendiri kalo sampai berniat begitu. Apalagi sejak Pa il pake BB. Sering banget BB-nya bunyi. Trang tring trung. Pasti itu notifikasi ada BBM yang masuk. Apakah saya berminat mengecek BBM yang masuk? Kalo nurutin curiousity sih, mungkin iya. Siapa, sih, yang tengah malem iseng kirim BBM? Nggak tidur apa? Tapi, toh, Pa il nggak pernah terbangun hanya gara-gara ada BBM masuk.

Tapi pernah, nih, beberapa tahun yang lalu, sebelum Pa il mulai pakai BB, malah, ada hal yang membuat saya gelisah dan curiga. Setiap Pa il sedang main sama anak-anak atau sedang di kamar mandi, atau sedang tidur bahkan, suka ada telepon masuk. Lihat dari Caller ID-nya sih, namanya Ms. R. Sering banget sih, Ms. R ini nelpon Pa il? Tapi nggak saya angkat. Saya biarkan saja.

Belum lagi, kalo ada telpon masuk dari Ms. R itu ketika Pa il siap siaga nerima panggilan telepon, Pa il mengambil ponselnya, lalu menjauh dari kami dan berbicara dengan lawan bicaranya di luar ruangan. Kadang di luar rumah. Demi mendapat sinyal yang bagus atau supaya nggak terdengar oleh saya?

Ah, dasar, ya. Rasa penasaran mulai menggelitik hati saya. Padahal, sikap Pa il nggak ada yang berubah. Konon, kalo suami sudah mulai doyan perempuan lain, sikapnya berubah total. Entah itu lebih cuek atau justru makin mesra sama istrinya supaya nggak ketahuan belangnya. Katanya, lho... Amit-amit, deh, kalo sampai ngalamin mah! *ketok meja*

Setelah beberapa hari mendapati kejadian seperti itu, saya mulai mengendap-endap ngecek ponsel Pa il. Yang pasti, ketika saya melakukannya, keringat dingin mengucur. Degdegan nggak kentara. Takut ketahuan, lalu Pa il marah. Atau malah sebaliknya. Saya justru takut mendapati hal-hal yang saya "inginkan". Maksudnya, hal-hal yang saya "inginkan" ini adalah hal-hal yang saya takuti dan menghantui saya selama ini. Bukan ingin beneran, lho.

Saya mulai menelusuri Inbox dan Sent Message di ponsel Pa il. Padahal waktu itu masih ponsel jadul. Belum pake BB. Saya betul-betul membuka semua pesan dari seseorang bernama Ms. R. Duh. Memang, sih, nggak ada pesan mesra. Tapi, kayaknya mereka janjian di suatu tempat. Pesannya singkat-singkat aja. Kayak di folder Sent Message, pesan yang ditulis Pa il kurang lebih: “iya”, “sebentar lagi”, “ditunggu”, “tunggu sebentar, ya”. Sementara di Inbox, saya nemu SMS yang ditulis Ms. R ini juga singkat. Kayak kode gitu. Misalnya, “bagaimana?”, “sudah di mana?”, “masih lama?”. Hueeeeh. Istri mana yang bisa tenang – yang udah lah penasaran terus pas bekerja menjadi detektif – malah nemuin pesan-pesan kayak begini?

Siapa ini Ms. R? Dan kenapa nggak ditulis dengan jelas R-nya siapa. Ini kan justru membuat saya curiga. Saya memikirkan semua nama perempuan yang mungkin untuk “R”-nya ini. Rina, Rani, Reni, Reti, Rima, Rida, Rila, Runi, Risma, Resti, Revi, Rini, Rika, Rose, Raya. Argh! Kayaknya belum pernah dengar nama perempuan teman kantor Pa il berawalan “R” selain “Revi”, yang saya kenal. Eh, lagian, Revi udah nggak di kantor Pa il sejak lama, kok. Dia hanya beberapa bulan aja di kantor Pa il. Lalu kenapa “R”-nya ini disembunyikan?

Hingga suatu hari, seperti biasanya, hari Sabtu adalah hari di mana Pa il bermain futsal dengan teman-teman kantornya. Hari itu, nggak tahu kenapa, Ilman rewel banget. Intinya Pa il dibuat kesiangan berangkat ke lapangan oleh kami berdua, saya dan Ilman. Dan saya sengaja menyembunyikan ponsel Pa il. Soalnya, pagi-pagi, saya sempat lihat Pa il terima telepon dari Ms. R ini. Jangan-jangan nanti mereka ketemuan di lapangan futsal? Hedeeeh! Anak istri di rumah mendambakan bisa berakhir pekan sama dia, ini kok malah janjian sama cewek lain, sih!

Pokoknya, rasakan, Ms. R! Nanti kalo Ms. R ini nelpon, bakalan saya damprat habis-habisan. Sembarangan banget ganggu suami orang, hah! Benak saya sibuk menyusun kata-kata penuh emosi untuk mendamprat Ms. R ini. Huh! Belum tahu, ya, Ms. R ini, kalo “Judes” adalah nama tengah saya?

Ternyata benar! Voila! Sekitar jam 9 pagi, ponsel Pa il berdering. Ya! Tebakanmu benar! Ms. R yang nelpon! Dengan rasa percaya diri (padahal sumpah, deg-degan banget waktu itu, sampai gemetaran), saya tekan tombol “answer” dan saya buat suara seelegan mungkin untuk menyapa dia yang ada di seberang sana. “Assalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Selamat pagi. Dengan istri Bapak Nasrudin Fahmi di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Dalam hati saya berujar, mampus, lu. Bentar lagi gue semprot. Jangan berharap yang jawab ini telepon adalah suami gue, ya!

Dijawablah dari seberang sana, “Wa ‘alaikum salaam. Bu, Pak Fahmi-nya ada?”

Eh? Sebentar.... Kok, suara laki-laki yang jawab?

“Pak Fahmi sedang ke lapangan futsal, Pak...”

“Oh, sudah berangkat, ya. Sudah lama? Kenapa belum muncul aja, ya?”

“Baru sekitar lima belas menit yang lalu. Mungkin sebentar lagi sampai, Pak. Kalo nggak macet.”

“Oh, ya udah atuh, Bu, kalo gitu, mah. Saya tunggu aja di sini.”

“Maaf, Pak. Ini dengan siapa, ya?” Pertanyaan bodoh, saya akui. Tapi saya harus tahu siapa nama penelepon. Siapa tahu, orang ini pinjam ponsel Ms. R atau disuruh Ms. R buat nelpon ke ponsel Pa il. Mungkin saja, Ms. R ini tiba-tiba merasa kalo saya sudah mencurigainya sejak lama, jadi meminta orang lain yang notabene laki-laki, menelepon Pa il.

“Ini dengan Pak Mis, Bu. Ya sudah, saya tunggu Pak Fahmi di lapangan kalo begitu. Terima kasih, ya, Bu. Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalaam.”

Ms. R itu laki-laki? Tapi dasar, ya. Saya masih nggak percaya. Saya beneran nunggu Pa il pulang siang itu.

Sepulangnya Pa il dari lapangan futsal, mandi, makan siang dan mulai nonton TV, saya dekati Pa il sambil nyerahin ponselnya. “Papa, tadi pagi ada telpon. Dari Ms. R. Tapi suaranya kok, suara laki-laki, ya?”

“Oh, dari Pak Mis. Iya, kan, main futsalnya se-tim sama Papa.” Pa il menjawab dengan lempeng jaya. Iyalah, lempeng. Orang emang nggak ada yang sedang ditutup-tutupi. Dan dia memang sedang bicara jujur.

“Terus, kenapa itu ditulisnya Ms? Bukan Mis? Kayak perempuan aja.”

“Hmmm. Papa buru-buru waktu itu. Kan emang lagi sibuk nyiapin tender, Bun... Terus ya kelupaan mau ngedit. Toh, yang penting sudah jelas nomernya siapa.”

“........”

Saya jadi malu. Sudah curiga pada Pa il yang sejak dulu sayang saya apa adanya nggak pakai syarat apa pun. Nggak pernah menaruh curiga pada saya, meski saya sering cerita tentang semua sahabat saya yang rata-rata laki-laki. Dan nggak pernah menginterogasi saya setiap kali menerima telepon curhat dari beberapa sahabat laki-laki saya. Huhuhu. Maafkan Bunda, ya, Papa...

mari kita tes...