skip to main |
skip to sidebar
Setelah saya mengalaminya, oke, saya akui bahwa berdamai dengan diri sendiri itu lebih sulit daripada kalo saya berdamai dengan orang lain karena bertengkar misalnya.Teman-teman pasti sudah baca di sini. Saya memang masih dalam proses buat move on itu.Ada yang bertanya pada saya, "gila loe! Lu masih suka sama dia?" Aduh! Saya harus jawab apa? Kalo saya bilang sudah tidak, pasti dia ga percaya. Karena toh, ternyata saya masih perlu waktu buat move on. Tapi ini bukan masalah suklaa, sayang -apapun itu -, padanya. BIG NO.Sulit menjelaskannya. Sebab, bukan rasa suka yang sudah berlalu yang masih ada. Saya juga yakin, ini bukan sekedar godaan syaitonirrojim seperti yang seorang teman saya yang lain pernah ingatkan.Ini masalah saya yang kehilangan kendali, ketika semua yang sudah saya bangun dan sudah selesai, tiba-tiba hancur berkeping-keping, almost 5 years ago. Saya marah besar atas kehancuran itu. Dan saya sama sekali tidak lagi punya tenaga, modal dan bahkan mimpi untuk membangunnya lagi saat itu. Tapi, saya harus bangkit. Ada orang lain yang sudah siap menyambut saya, selemah apapun keadaan saya. Dia adalah orang yang sekarang merupakan suami saya.Fahmi dan Ilman hadir buat saya karena Allah SWT begitu sayang pada saya. Allah SWT memberikan saya kesempatan kedua untuk membangun semua yang sudah hancur berkeping itu. Perlahan, tapi jelas arahnya ke mana.Kenapa, sih, saya kok ga langsung move on saja ketika saya baru broke up? Bukan ga langsung move on. Saya sudah mencoba berbagai cara untuk bisa lupa bagaimana hancurnya saya ketika kami broke up. Saya sering dekat dengan cowok, baik ttm maupun beneran jadian, tapi emang ga pernah parah kalo udahan. Mungkin karena waktu itu, saya sebegitu seriusnya, sampe lupa, apa yang sebetulnya saya perlukan. Dan emang itu yang ga pernah terpenuhi sampai kami memutuskan untuk selesai. Komitmen. Kehadiran Fahmi emang terlalu cepat waktu itu, tapi saya sadar, toh, yang saya butuhkan kebersamaan dan komitmen dari orang yang saya sayangi, yang kemudian saya jalani dengan Fahmi, sampai sekarang.Tapi, saya lupa satu hal. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya nggak berani menyelesaikan persoalan masa lalu saya sebelum saya menginjak akad nikah. Saya biarkan saja dia mengendap, sehingga ketika ada pemicu yang mengaduk-aduk dasar hati saya, dengan tenangnya ia muncul ke permukaan. Artinya, saya ternyata masih belum berdamai dengan diri sendiri ketika itu.Saya nggak mau terus menerus bergulat dengan diri saya sendiri. Saya capek. Saya hanya ingin keluarga saya selamanya sakinah ma waddah wa rahmah, tanpa saya punya beban pikiran seperti ini, walau jujur aja, cuma seupil!Seupil tapi jadi borok yang bernanah terus. Ga sembuh-sembuh. Akh! Saya harus segera mengobatinya, saya pengen cepat sembuh. Saya mulai mengobati diri saya sendiri dengan menceritakannya pada sebagian orang secara langsung.Saya juga bercerita pada si obyek, bahwa saya merasakan kehancuran setelah kami broke up. Tapi, saya pengen bangkit. Saya pengen membuang semua serpihan-serpihan kehancuran, sehingga apa yang sedang saya bangun sekarang, bisa berdiri kokoh, selamanya. Tak dinanya, setelah saya menceritakan semuanya padanya, saya merasakan kelegaan yang luar biasa. Sekarang saya sedang memasuki tahap recovery. Recovery ini terasa sangat berat, tapi saya punya Fahmi yang ternyata sangat melindungi saya dengan keadaan saya ini. Dia begitu sabar menghadapi saya seperti ini. Semua nasihat repetitif Fahmi langsung terngiang di telinga saya, "berharap pada manusia itu membuat sakit ketika kita ga dapat apa yang kita harapkan." Kalimat itu selalu menyejukkan hati saya dan membuat saya bangkit. Yes, Fahmi is my angel.Saya selalu berdoa, di setiap akhir shalat saya, "Ya Rabbi, berikan saya hikmah untuk tetap bersyukur dan jadikanlah saya orang yang shalih."Selepas saya bercerita pada mantan saya, semua berputar di benak saya, seperti saya sedang menonton obituary. Saya punya teman-teman baik ketika saya membutuhkan mereka. Saya punya suami yang juga sahabat saya.Saya punya sahabat-sahabat yang selalu memberikan segalanya untuk saya. Dan, mereka yang berbagi pengalaman serupa dengan saya. Akh, betapa saya diberi hikmah untuk bersyukur ini begitu besar!So, apa lagi sih, yang saya cari untuk melengkapi perdamaian dengan diri saya sendiri? Kenapa saya harus takut menatap ke depan? Baiklah, sekarang saya sudah berdamai dengan diri sendiri, walau itu perlu hampir 5 tahun untuk melakukannya. Saya sudah siap dengan semua resolusi tahun baru 2009 saya. Hahaha...Oya, lewat pictures ini, saya pengen ngucapin ma kasih banyak buat beberapa orang dari kalian, atas komentar kalian di sini.... Sangat membantu saya...I promise to make you a scrapbook for you each, tapi belum selesai semua. Jadi saya upload yang digabung aja dulu, ya... Thanks, ibu, for the chance!
Yup! Nama lengkapnya demikian. Shidiq Ilman Faiz. Ketiga kata itu adalah hasil diskusi, brosing dan pemikiran masing-masing antara saya,"Fahmi dan Bapak. Saya kepingin sekali menamai putra saya dengan nama Ilman, selain karena artinya Ilmu, yang saya harapkan kelak dia suka belajar tentang segala sesuatu, juga karena saya terinspirasi oleh seorang adik mentor saya ketika Pesantren Kilat 11 di Garut, bernama Ilman, anak yang keren banget! Waktu itu, Ilman kelas 4 SD. Sekarang sudah segede apa, ya, dia?">
So, ketika Allah SWT mengabulkan doa saya untuk memiliki putra, saya nggak pikir panjang lagi, karena nama 'Ilman' sudah saya rencanakan 7 tahun sebelumnya. Faiz, nama sumbangan dari papanya, Fahmi. Seminggu sebelum saya melahirkan, saya dan Fahmi sering diskusi tentang nama bayi kami, via Y!M. Tepat hari ke-2 setelah Ilman lahir, saya dan Fahmi sepakat untuk memberi nama bayi pertama kami: Ilman Faiz. Tapi, trus Fahmi minta saya sms bapak, siapa tahu, bapak juga pengen nambahin. Namanya juga cucu pertama bapak. Hehe... Oke, saya lalu sms bapak. Bapak reply dan kasih dua alternatif. Ilman Faiz Ash-Shidiq atau Shidiq Ilman Faiz. Berdasarkan pertimbangan kami nggak mau nyusahin putra kami ketika dia dewasa nanti (seperti mengisi lembar ujian dengan nama lengkap atau mengisi form apapun, karena pengalaman papanya yang punya nama lumayan panjang jadi agak bete kalo harus ngisi form dengan nama lengkap), maka kami memutuskan untuk menamai baby kami dengan nama: SHIDIQ ILMAN FAIZ. Setelah keputusan dibuat, Fahmi langsung bikin akte kelahiran di RS Hermina Pasteur Bandung. Ada yang lucu mengingat kami baru jadi orang tua. Seminggu setelah Ilman lahir, karena kuning, Ilman harus masuk RS Hermina lagi untuk rawat inap. Bilirubinnya waktu itu 16,sekian (lupa!). Sebelumnya, masuk UGD dulu, karena hari itu adalah Tahun Baru. Di mana semua dokter anak libur, hanya ada UGD. Perawat memanggil nama "Bayi Shidiq" dengan lantang, berulang-ulang, tapi tampaknya nggak ada yang menghampiri. Saya sempet gemes dan berpikir, "Ih! Ke mana sih, mereka? Aku pan lagi nunggu giliran juga! Kok orang itu udah dipanggil dari tadi ga nyamperin? Mendingan Ilman dipanggil duluan, deh!" Ketika itu Fahmi sedang baca koran, dengan tenangnya tentu saja.
Tak lama, saya dihampiri resepsionis, "Bu, ade Shidiq sudah dipanggil masuk." Saya melongo. Shidiq? Siapa tuh? Nama anak saya kan Ilman. Untung, saya cuma melongo 5 detik saja, kalo ga salah. Tiba-tiba saya blushing, karena saya lalu ingat, putra saya namanya Shidiq Ilman Faiz. Wah, belum-belum sudah jadi ibu yang payah nih! Hahahaha... Hari demi hari, saya lalui bersamanya. Rasanya, saya sangat beruntung dikasih kesempatan untuk jadi ibu. Walau saya bukan ibu yang baik, tapi saya berusaha untuk jadi ibu yang baik, yang setiap Ilman perlu saya, saya ada di sisinya. Betapa bangganya saya, setiap saya bertemu Ilman, Ilman akan langsung menghambur saya. Kamu tahu, kebahagiaan seperti itu nggak pernah bisa diganti oleh apapun! Sekalipun oleh uang segudang! Dan, sekarang, Ilman sudah dua tahun, alhamdulillaah. Saya belum terpikir untuk menyapihnya, karena ASI yang saya berikan lumayan ga eksklusif, secara waktu itu saya masih oon (mudah-mudahan sekarang udah dikit lebih pinter) jadi sempet dicampur gitu. Dan Ilman tampak masih perlu. Oke, saya akui, saya memang belum siap menyapih Ilman. Saya akui, saya masih perlu suasana menyusui Ilman... Ilman, baby bunda... selamat ulang tahun, ya, Nak... tambah shalih, tambah pinter, sehat terus.. bunda doakan, Ilman tumbuh menjadi anak yang bersahaja, peduli sesama, berguna untuk agamamu, bangsa dan negaramu... time went so fast, baby... tau-tau Ilman sudah dua tahun saja... rasanya baru kemarin bunda mengalami hari pertama jadi ibu... my love for you comes from the deepest place in my heart, Ilman... Note: maaf, ya, Nak... pas di hari ultahmu, bunda nggak bikin acara apapun.. seperti tahun lalu karena hari ini bunda mesti ngantor. Bunda kerja untuk kebaikan masa depan anak Indonesia, untuk Ilman dan teman-teman Ilman. Tapi pasti ada hari lain, ya, Nak.. dan pastinya Bunda dan Papa akan gantikan hari ini dengan hari lain, just the three of us...
Bertahun-tahun setelah ibu yang melahirkan saya wafat, saya dipertemukan dengan seorang ibu yang kemudian membesarkan saya. Di tahun-tahun pertama kami, tidaklah mudah. Pertama, sekeliling saya terus menerus meneror saya dengan pertanyaan, "ibunya baik, ga?" Memangnya ada apa, sih, dengan ibu tiri? Oh, pasti gara-gara drama radio atau drama teve yang selalu saja menceritakan kalo ibu tiri tuh jahat. Wew! Saya bahkan punya tuh, dulu, kaset cerita dari Sanggar Cerita judulnya Ibu Tiri apaaa gitu lah... sampe dibuang sama ibuku ini, karena takut dikira mencuci otak saya. Pasti berat, ya, membesarkan anak yang tidak terlahir dari rahimnya sendiri, plus di tengah anggapan bahwa ibu tiri itu jahat. Sorry to say, but BIG NO! Ibu tiri itu nggak jahat. Dan saya sudah mengalaminya sendiri!
Saya mengerti, kenapa bapak memilih punya istri lagi. Itu semata-mata buat saya. Ketika itu saya adalah anak perempuan yang nggak lama lagi akan memasuki masa puber. Seperti menstruasi. Apakah seorang ayah akan bisa memberi pengarahan ini dan itu tentang menstruasi, sementara dia sendiri nggak pernah mengalaminya? Ayah saya nggak ngerti problem klasik perempuan. Apalagi, tante saya jauh semua. Nenek juga jauh. Siapa yang akan kasih saya pendidikan tentang keperempuanan kalo bukan ibu? Walau berat hati dan rasanya aneh, tapi perlahan saya bisa menerima beliau. Pertama kali jadi ibu saya, beliau bener-bener protect banget sama saya (baca: ingin tahu semua rahasia saya, termasuk baca diary saya yang kemudian membuat saya malas menulis diary). Tapi kemudian saya tahu, ibu saya takut kalo saya nggak pernah mau cerita apa-apa pada beliau. Beliau kan pengen dong, anaknya curhat sama beliau. Beliau juga takut, kalo saya jatuh cinta trus berbuat yang nggak-nggak, saking terlalu panjangnya daftar larangan buat saya. Saya ingat betul, bagaimana ibu bener-bener strict dalam memilih saluran dan acara tv buat saya. Selama usia saya belum 17 tahun, saya tidak diperkenankan menonton drama atau film cinta-cintaan. Nanti pecah bulu, begitu istilahnya. Semua yang ibu lakukan ada baiknya. Ketika saya sudah berumur 17 tahun dan sudah punya hak buat melihat itu semua, saya merasa tabu dan ga perlu. Saya memang malu kalo nonton adegan ciuman atau pelukan di tv. Rasanya bukan buat tontonan umum, deh!
Dan sekarang, ibu sudah 22 tahun ada di dalam keluarga kami. Ibu yang membesarkan saya, orang pertama yang saya kasih tau ketika saya dapat haid pertama saya. Orang yang pertama tahu, ketika saya pacaran. Orang yang pertama tahu saat saya sakit.
Jadi orang yang pertama tahu ketika saya mengalami sakitnya patah hati dan meminta saya buat move on, sembari menyodorkan pahanya buat saya basahi dengan air mata saya. Yang membelai saya ketika tahu saya menangis diam-diam. Yang mempersiapkan semua urusan pernikahan saya. Yang nemenin Fahmi ketika saya akan melahirkan. Yang rajin mengomeli saya ketika saya mulai nggak sabar pada Fahmi dan Ilman. Tempat saya titipi Ilman yang saya percayai untuk mengasuhnya. Ibu yang selalu menyemangati saya untuk menyelesaikan kuliah. Yang menyiapkan makan kami.
Ah, ibu.... ibu bukan orang lain! Ibu sama saja seperti ibu yang melahirkan saya. Maafin semua kenakalan Mbak, ya, Bu... Mbak tuh sayaaaaaaaang banget sama ibu... Mbak pengen banget melakukan sesuatu biar ibu bahagia... Selamat Hari Ibu... semoga Ibu tetap sehat dan Allah memberikan rahmat tak terhingga buat Ibu... Love You, Mom!
-- tulisan ini juga ditulis buat dikirim ke MustikaFM dalam acara To Mom With Love --
thanks, Popi, buat chance-nya.... mmmuuaaahhh!!!
Assalaamu 'alaikum...
Apa kabar, Bu? Hmm, hari ini, 19 Desember 2008. Means udah 25 tahun lebih sehari, ibu pergi meninggalkan dunia ini. Ibu baik-baikkah di sana? Peni kirim doa, Bu, sampai, kan? Katanya, doa anak yang shalih akan membuat semua amalan ibu selama ibu hidup terus bermanfaat. Aamiin. Mudah-mudahan Peni anak yang shalih, ya, Bu?
Eh, iya, Bu.. udah lama, ya, Peni nggak cerita-cerita sama Ibu. Ada banyaaaaaaak banget yang pengen Peni ceritain. Awal November kemaren, Peni, Fahmi dan Ilman pergi ke Jakarta, dalam rangka menghadiri nikahannya Anggia. Peni ketemu semua saudara Ibu. Bahagiaaa banget bisa ketemu mereka. Cuma, kondisi Ilman sempet bikin Peni dan Fahmi clash berat. Mungkin Ilman kecapekan, jadi rewel terus, ya, Bu...
Oya, Bu. Asih udah punya baby sekarang. Peni ikut nungguin waktu Asih melahirkan. Ih, kesel banget sama dokternya. Masa Asih sampe harus dijahit dua kali, udah gitu bengkak pula daerah bekas jahitannya sampe ada darah beku dan harus dioperasi? Argh! Ibu kan dulu ngasuh Asih bareng-bareng Peni, ya. Ibu pasti kesel juga kalo tahu ini. Alhamdulillah, bayinya sehat. Jadi, kami nggak mengkhawatirkan dua-duanya. Haha, cucu Ibu jadi 5 sekarang. Ada Bei dan Aska anaknya Gia, ada Ilman, ada Dafa anaknya Didot dan ada Erin anaknya Asih.
Bu, kami semua di rumah sehat-sehat aja. Bapak kan rutin bikin acara dzikir bersama di rumah dan kemarin rasanya gimanaaaa gitu. Karena kemarin kan 25 tahun Ibu pergi meninggalkan kami semua, jadi suasananya haru biru gitu, deh... Ah, Ibu... tapi Peni nggak mau berandai-andai, kok. Ibu sudah ada di tempat yang tenang, jadi Ibu nggak perlu pake tabung oksigen lagi kalo Ibu sesak nafas. Badan Ibu nggak perlu biru-biru lagi karena kurangnya asupan oksigen. Ibu nggak harus disuntik atau minum obat lagi. Ibu nggak harus makan cuma makan kentang rebus yang menurut Peni rasanya bener-bener hambar.
Peni tuh saluuuut banget sama Ibu. Ibu tabah dan kuat. Sayang, diary Ibu nggak Peni pegang, waktu itu diselamatkan bulik Yati dan hancur karena badai. Padahal, Peni pengeeeen banget baca tulisan Ibu. Peni kan cuma kenal Ibu 6 tahun. Astri malah nggak pernah ketemu Ibu. Dia bener-bener nggak tahu Ibu. Kali ini Peni berandai-andai, seandainya di tempat bulik Yati nggak pernah terjadi badai, pasti Peni dan Astri udah semakin kenal sama Ibu, lewat tulisan-tulisan Ibu. Argh! Haruskah Peni mengutuk badai itu? Nggak boleh, kan, Bu.. itu pasti sudah kehendak Allah. Atau jangan-jangan, itu tanda dari Allah, kalo manusia sekarang udah makin jahat sama alam, makanya Allah kirim badai.
Banyaaaak banget yang terjadi belakangan ini. Peni tersambung lagi sama temen-temen lama Peni. Inget aja, waktu Ibu meninggal, yang nganter Ibu.... Subhanallaah... banyaaaaaaaaaaaaak banget, Bu! Pasti Ibu dulu orang yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaaaat baik. Buktinya banyak yang kehilangan Ibu. Oya, waktu ketemu Eyang Nduk dan dia tau ini Peni, tau, nggak, Bu? Beliau langsung dekap Peni, lamaaaaaaaaaa banget. Ada apa, ya, Bu? Apa beliau kangen Ibu? Tapi wajah Peni kan ga mirip sama Ibu, ya.. huhuhu... Peni lebih mirip sama bapak atau campuran keduanya.
Ilman makin hari makin besar dan makin cerdas. Ibu pasti bakalan ketawa kalo Ibu lihat kelakuannya. Penemuan terbaru Ilman: kalo dia ngacak-ngacak buku di kamar, trus Peni matiin lampunya biar dia keluar dari kamar dan nggak ngacak-ngacak buku di kamar, dia nggak marah, Bu. Tapi, dia bawa buku keluar dan baca di luar kamar yang terang. Hahaha... Amazing banget, ya, cucu Ibu.
Peni inget, dulu Peni dimanjain sama buku, makanya, Peni juga mau manjain Ilman dengan buku. Hasilnya? Wah, dia sangaaaat suka semua hal berbau tulisan dan gambar. Seperti brosur sampe buku-buku tebal punya Fahmi. Haha.. Oya, Peni juga inget, dulu Ibu suka ngajak Peni main harta karun dan kasih kejutan. Peni udah mulai ngikutin Ibu, loh! Mungkin kalo Ilman sudah lebih besar, akan diajak main cari harta karun. Peni baru suka kasih kejutan buat Fahmi. Menantu Ibu itu, orangnya kereeeeeeeen banget! Baik, shalih, penyabar, perhatian....! Ah, nggak salah Peni pilih Fahmi. Ibu bisa tenang deh, jadinya. Ya, kan?
Peni kemaren bikin cupcake. Ilman bantuin juga, Bu. Hehe. Ibu Yayah selalu ngakak lihat kelakuan Ilman. Peni yakin, kalo Ibu masih ada juga, pasti bahagia dan bangga punya cucu seperti Ilman. Yah, nenek mana sih yang nggak bangga sama cucu sendiri? Hahaha.... Bu, kucing-kucing Peni pada nemenin Ibu, ga? Kei, Keiko, Choki dan Chiko? Peni udah bilang mereka, kalo mereka mati, mereka harus temenin Ibu. Kucingnya Bulik Yati juga, tuh, Salju, udah ketemu Ibu, kan?
Wah, dengan adanya internet, Peni ketemu banyaaaak orang yang udah lama ga Peni temui. Andai bisa ya, pake internet kita chatting. Hahaha. Mumpung mimpi, muluk aja sekalian. Peni paling titip pesen aja sama Allah buat Ibu. Karena Peni tahu, Allah Maha Baik. Dia sayaaang banget sama Ibu, makanya Ibu dipanggil pulang, biar Ibu nggak sakit lagi. Peni pengen bisa kayak Ibu. Dulu, almarhumah Eyang Putri Sakri, kalo ketemu Peni tuh selalu bilang, "Nduk, kamu mesti bisa mencontoh ibumu. Ibumu tuh orang yang baik. Dia mau melakukan apa saja untuk membantu orang lain. Ya, Bu, Peni bisa merasakan kalo Ibu tuh orang super baik. Sampai sekarang, masih ada saja orang yang mengenang Ibu... Pasti, Ibu orang yang super menakjubkan!
Eh, iya, Bu. Sudah pagi, Peni harus segera mandiin Ilman. Kalo terlambat berangkat kerja, nanti Fahmi sedih. Apalagi kemaren terhambat macet. Mudah-mudahan hari ini nggak macet, ya, Bu... Nanti kita ketemu lagi dalam doa-doa Peni. Peni cuma pengen Ibu tahu, kalo Peni tuh sayaaaaaaaaaaaaaaaaang banget sama Ibu dan Peni kangeeeeeeeeeeeeeeeeen banget sama Ibu... Love you sooooo much, Bu! Million kisses for you! Mmmmmmmuahhh!!! Pamit, nggih, Bu....
wassalaamu'alaikum,
with love,
Peni
Ini sebuah kisah kasih di sekolah. Di mana tokoh utamanya adalah seorang cewek berusia 16 menuju 17 tahun, yang 14 tahun lalu itu kelas 2 SMA. Untuk selanjutnya, cewek ini kita namai cewek #1.
Alkisah, sejak kelas 1 SMA, cewek #1 selalu jadi objek penderita ketika ia melewati kelas seorang cowok -yang kemudian kita namai dengan cowok #1- yang seangkatan dengannya. Setiap cewek #1 lewat kelasnya, pasti disorakin. Dan cowok #1, cuma bisa salah tingkah tiap cewek #1 berjalan melewati kelasnya. Padahal, nggak pernah ada firasat apalagi rasa suka yang tertanam di antara keduanya. Bahkan, entah skenario apa yang sedang disiapkan Tuhan, keduanya ber'jodoh' di kelas bio dua. Maksudnya, mereka sama-sama ditampung di kelas bio dua.
Gosip tentang mereka di kelas 1 yang tadinya sudah akan di'putih'kan cewek #1, malah makin meledak. Karena ada oknum tidak bertanggung jawab lain kelas yang malah menyebarkan gosip tak benar ini. Dan begitulah, kemudian nasib bukan sepasang anak manusia yang sebetulnya nggak pernah saling suka ini kemudian selalu jadi subjek bahasan di kelas, manakala guru perlu subjek dalam menjelaskan sesuatu. Terutama untuk mata pelajaran reproduksi, yang kalo di kelas biologi, pertemuannya lebih banyak dibanding anak fisika apalagi sosial. *sigh*
Dan bukan sepasang anak manusia ini di'jodoh'kan teman-teman sekelas mereka dengan mengatur bangku supaya kedua anak ini tetap berdekatan. Hingga tiba hari itu.
Seorang cewek lain, sebut saja cewek #2, mengajak cewek #1 untuk berbicara serius.
cewek #2: "neng, gue mau cerita. semalem, cowok#1 nelpon gue. dia curhat."
cewek #1: ...... (dalam hati sih bilang, "trus hubungannya apa sama gue?")
cewek #2: "dia tanya gue, dia pengen nembak kamu."
cewek #1: ..... (dalam hati, kok, curhatnya sama dia siy? @#$^&%!!!!)
cewek #2: "dia minta gue yang bilang sama kamu. kamu mau, nggak pacaran sama dia?"
cewek #1: "... ng...ng.... kayaknya nggak!"
cewek #2: "lho, kenapa? bukannya kalian dah akrab? dah deket? tiap hari saling cela-cela gitu! itu namanya kalian saling suka!"
cewek #1: "sok tau! nggak ada apa-apa di antara kami, titik!"
cewek #2: [meraih bahu cewek #1, menatapnya dalam-dalam] "ini... persoalan... serius, tau!"
cewek #1: "kenapa serius? kalo serius, kenapa dia ngomong sama kamu? kenapa dia ga langsung ngomong sama aku, seperti kalo dia ngajakin aku ke hotel?" cewek #2: "kalo ngajakin kamu ke hotel pan maen-maen. kalo soal nembak ini, serius, beneran." cewek #1 memandang cewek #2. ia merasakan bahwa cewek #2 memang serius dengan ucapannya.
cewek #1: "duh, buah simalakama, euy, kalo jadian sama dia, teeehhhh..."
cewek #2: "kenapa?"
cewek #1: "dia pan omes (otak mesum). kalo aku jadian sama dia, berarti sama aja aku menyerahkan masa depanku pada kehancuran. kalo nolak, rusak persahataban. padahal, dua-duanya penting buat aku!"
cewek #2: "dia udah janji, kooook, kalo misalnya jadian sama kamu, dia akan lebih kalem dan ga omes lagi... tapi langsung praktek!"
cewek #1: "huwaaaa! ga mau! tidak! tidak! tidak!"
cewek #2: "ayolaah... gue tadi becanda soal praktek! serius, kok. dia mau berubah."
si cowok #1 berjalan melewati mereka berdua dan cewek #1 memang merasa hari itu si cowok #1 sangat pendiam, nggak seperti hari-hari biasanya yang selalu mengajaknya berantem. dan keadaan itu membuat si cewek #1 percaya, kalo tengah terjadi sesuatu di diri si cowok #1.
cewek #1: "ada yang nyatain ke aku, seminggu kemaren dan baru mau kujawab dua hari lagi, biar tanggalnya cantik kalo jadian. kalo aku nerima si cowok #1, apa aku nggak mengkhianatinya?"
cewek #2: "yaa... terserah... tapi enaknya kan kamu jadian sama orang yang udah kamu kenal lama... si cowok #2 baru deket sekarang ini aja, ya, kan?"
cewek #1: ..... (tapi dalam hatinya bilang, 'cowok #2 jauuuuuh lebih keren daripada cowok #1')
cewek #2: "gini aja, deh... sebentar aja, cobain aja dulu. mau, ya?"
cewek #1: "sembarangan pake percobaan!"
cewek #2: "ayolaaah... kalo ternyata dalam dua hari dia nggak berubah, putusin juga nggak apa-apa. dia udah nerima itu sebagai konsekuensinya, kok!"
cewek #1: "kok bisa ngobrol sejauh itu?"
cewek #2: "ya, kan, untuk berbagai kemungkinan, dear... ya udah jawab aja, buat sehari aja gitu?"
cewek #1: "apaan jadian sehari? emangnya test drive? aku baru mau sama dia kalo udah nggak ada cowok lagi di dunia ini!"
cewek #2: "give him chance, please..."
cewek #1: "argh!"
cewek #2: [memelas, pandangan memohon] "pleaaseee...."
lima menit terberat pertama mulai dirasakan cewek #1 karena dia harus membuat keputusan besar dalam hidupnya.
cewek #1: "oke, pake syarat dan harus ikutin syaratku!"
cewek #2: "syaratnya apa?"
cewek #1: "oke, jadian sama cowok #1 cuma seminggu aja, udahnya aku jadian sama anak kelas sebelah. dan tolong, ga disebar ke mana-mana kalo aku jadian sama cowok #1. ngerti?"
cewek #2: [melompat kegirangan dan meluk-meluk cewek #1] "whoaaa...! asiiik!!! ma kasih, yaaa!"
cewek #2 lalu berdiri, dan melingkarkan jarinya membentuk corong di sekitar mulutnya sambil berteriak "WOOOOOOOOIIIIIIIIIIIIII! PENGUMUMAAAAAAAAAAAAAANNNNNNNNNN! CEWEK #1 MAU JADIAN SAMA COWOK #1!!! HOREEEEEEEEEEE!!!" kelas yang tadinya sedikit hening, mendadak ramai. semua teman-teman cewek #1 dan cowok #1 ini sudah lama menanti akhir dari usaha mereka.
Usaha menjodohkan sepasang anak manusia ini. mereka tampak bahagia mendapati usaha mereka menjodoh-jodohkan dan menjadikan sepasang bukan kekasih ini subjek penderita, tidak sia-sia. tinggal yang jadi objeknya bengong, terutama cewek #1. keringat dingin, deg-degan dan merasa jadi selebritis langsung meradang. rasa geram mulai menguasai diri cewek #1. 'katanya ga bilang-bilang? kok malah diumumin? dasar sinting!' @#$%^&*($%^)!!!!
5 menit kemudian, cewek #2 berdiri lagi dan mengumumkan, "INI SEMUA CUMA APRIL MOP! Hahahahaha!" beban yang menimpa si cewek #1 langsung terbang, cewek #1 merasa sangaaaaaaaaaat lega. dan sujud syukur! 5 menit tadi adalah 5 menit terlama kedua yang dialami si cewek #1.
Dua hari kemudian, 03-04-94, cewek #1 ini jadian sama cowok #2. cewek #1 dan cowok #1 sampai kini tetap bersahabat, nggak pernah pacaran apalagi praktek ke-omesan bersama-sama. Mereka menikah dengan pasangan mereka masing-masing dan cewek #1 punya hidup yang normal. Entah dengan cowok #1. Haha
Note: to tell you the truth, cewek #1 itu adalah saya. Hehehe....
Saya percaya, seorang iwanaries bakalan ketawa guling-guling baca jurnal saya yang ini. Bukan karena tulisan ini lucu. Lebih dikarenakan he knew what just happened behind this story. Tapi, saya ga peduli! Diketawain juga nggak apa-apa. Mudah-mudahan tulisan ini kepake buat siapa aja yang udah baca. Hahaha... Singkat cerita, beberapa minggu ini, saya tiba-tiba kasuat-suat akan seseorang di masa lalu. Ada pencetusnya? Antara ada dan nggak ada. Kenapa? Saya cuma kebetulan lihat lagi picturenya. Itu aja. Dan semua membangkitkan ingatan saya akan apa yang sudah pernah saya lalui bersamanya beberapa tahun sebelum saya menikah. Sakit? Ya. Saya rasakan sangat sakit ketika mengingat lagi apa yang terjadi hingga kami broke up. Sakit yang saya rasakan beberapa minggu ini, ternyata adalah akumulasi semua perasaan saya padanya selama 5 tahun muncul semua ke permukaan. I need therapy!
Jika ada yang mencibir jika baca tulisan ini, saya sudah siap. Secara, saya sudah 3 tahun menikah, kok, masih inget masa lalu. Ini memang kebodohan saya. Seharusnya saya selesaikan dulu masalah saya yang satu ini dari dulu. Saya tau, saya sudah get in dan ga bisa come out. Tapi, pasti ada cara untuk membuat semua itu menghilang perlahan. Kesalahan saya, saya menyimpannya di dasar hati saya bertahun-tahun, when something came out dan mengaduk-aduk hati saya, dia akan kembali muncul ke permukaan. Seharusnya, saya biarkan saja semuanya di permukaan dan lalu biarkan menguap. Ada yang bilang, karena saya sedang settle, trus saya berusaha cari sesuatu yang menantang saya. Nggak juga, kok. Karena selama bertahun-tahun saya biarkan dia mengendap, makanya bisa tiba-tiba muncul ke permukaan. Seorang teman yang lain bilang, ini cuma godaan. Sementara temen yang satunya lagi bilang, ini ujian. Baiklah, saya mencatat ini sebagai ujian, godaan sekaligus tantangan. Kekuatan saya hanya satu, saya punya komitmen dengan apa yang sudah saya jalani sekarang. Dan saya berjalan di atas semua konsekuensi atas komitmen yang sudah saya pegang. Saya percaya betul, Allah SWT tidak akan menguji saya di luar kemampuan saya. Setiap DIA kasih saya soal, DIA akan kasih saya solusinya. Dan ketika kemarin pagi, saya menangis di pojokan, tanpa disangka-sangka 6 orang muncul via Y!M memberi saya support segede-gedenya dan membuat saya akhirnya bisa move on perlahan-lahan.
Hikmah dari apa yang saya alami sekarang adalah, ketika kita patah hati, jangan kubur dalam-dalam. Jangan endapkan. Biarkan saja dia mengapung dan akhirnya menguap. Kalopun dia jatuh lagi ke kita, mungkin sudah tercampur dengan yang lain, sehingga nggak akan lagi jatuh persis sama seperti waktu kita biarkan dia menguap. Berpegang teguh pada komitmen juga membantu menguatkan kita buat move on. Satu hal lagi, doa itu penting. Persahabatan mungkin akan menjadi salah satu jawaban buat doa kita.
Saya betul-betul merasakan kasih sayang semua sahabat saya di seluruh dunia saat ini. Thank you for making me feel warmer.... Love you all, guys. Love you, papailman who always make me strong, love you, Ilman.... Ya, saya akan mulai move on perlahan-lahan. Saya nggak akan supress masalah ini seperti yang sudah saya lakukan hampir 5 tahun ini. Dan hari ini saya sudah merasa jauh lebih baik dibanding hari kemarin. gambar minjem dari sini
Kaget juga dengar berita Pak Ali Alatas berpulang..
Saya mengagumi beliau sejak beliau jadi Menteri Luar Negeri (zaman saya sekolah mah, hafal, kan masih dalam masa kepemimpinan Orde Baru) efek bagusnya dari hafal nama-nama menteri, rasanya saya jadi tahu personal tiap menteri di masa itu, termasuk bapak Ali Alatas ini.
Saya sangat suka lihat liputan tentang beliau yang ternyata dapat julukan "singa tua diplomasi". Selamat jalan, Pak Ali. Semoga semua amal ibadahmu menjadi jalan penerang menuju sisiNYA. Semoga Allah SWT menempatkanmu di tempat terbaik di sisiNYA.
Sudah pasti saya nggak akan pernah lihat pak Ali lagi di tv, kecuali liputan tentang mengenangmu. Innalillaahi wa inna ilaihi raji'uun. Semoga keluarga Pak Ali Alatas diberi kekuatan dan kesabaran
Tulisan ini akhirnya turun juga, gara-gara kapan itu ada seorang yang sudah sangat lama tidak lagi saya temui menanyakan sesuatu tentang masa lalu saya, via Friendster.
"Teh Peni, masih meramal?" GUBRAK!
Aih, itu kan udah jaman kapan taun...
Oke, saya cerita di sini.
Saya mulai meramal sejak kelas 3 SMP. Saya berlangganan majalah GADIS sejak kelas 2 SMP dan menemukan salah satu artikel lucu-lucuan buat mengisi liburan: MERAMAL, YUK!
Saya lupa ini edisi berapa tahun berapa, secara itu majalah udah nggak tahu ada di mana.
Nah, saya dan Asih, sepupu saya, belajar meramal dengan mengikuti petunjuk di majalah tersebut. Saya dan Asih memasukkan nama-nama kecengan kami ketika itu. Yah, namanya juga iseng, hasilnya kami buat ketawa-ketawa aja. Nggak ada yang bener-bener kami percayai.
Terus, gara-gara kesibukan menghadapi EBTA/NAS saya mulai melupakan permainan ramalan itu dan kartu remi saya juga hilang tercecer.
Kelas 2 SMA, saya menemukan lagi majalah dengan artikel "MERAMAL, YUK!" itu, dan iseng, sengaja beli kartu remi mini yang suka ada di pengecer SD-SD gitu deh. Dan mulailah saya meramal buat diri saya sendiri. Mempraktekkan yang sudah lama saya nggak praktekkan.
Waktu itu, saya ngeceng kakak kelas, yang sekarang malah tiap hari chatting... Hahahaha. Hasil ramalan itu bilang, kalo saya nggak akan jadian sama kakak kelas itu.
Dimulai dengan mengocok kartu sesuai jumlah huruf yang ada pada namanya. Kalo mau lengkap ya lama, kalo mau panggilannya aja, ya berarti cuma dikit.
Misalnya, kecengan saya namanya AFGAN. Nama lengkapnya MUHAMMAD AFGANSYAH. Saya bisa mengocok kartu sejumlah 5 atau 18 kali. Bebas. Sambil membayangkan wajah gantengnya Afgan kecengan saya itu. Setelahnya, saya spread si kartu jadi beberapa bagian dan seterusnya. Kalo nggak salah, yang saya lakukan itu ada 6 tahap sampai akhirnya tersisa 2 atau 4 kartu saja. 2 kartu As berlainan warna, menandakan jadian.
Kalo 2 kartu AS berwarna sama, bertepuk sebelah tangan. Kalo muncul 4 kartu, bisa jadian bisa nggak. Tergantung. Hahaha. Ngarang namanya juga
Trus, akhirnya, saya jadian, nggak sama Afgan? Hahahaha, nggak tuh! Saya akhirnya menikah dengan papa Ilman. Hihihi...
Back to meramal...
Di kelas, saya suka iseng meramal. Bahkan, saya nyaris nggak bisa menikmati waktu istirahat saya, gara-gara meramal teman-teman. Hihihi.
Ya, saya dulu agak terkenal dalam meramal. Ada banyak teman lain kelas yang suka antri minta diramal. Hahahaha. Bahkan, waktu sekolah mau bikin bazaar, saya tadinya disuruh jadi peramal, buat stand kelas mau bikin stand ramal aja. Gubrak, deh! Tapi, saya tolak. Lupa alasannya apa.
Kemudian muncul Dama, temen sekelas, yang "lebih jago" dalam meramal. Karena dia bisa baca kartu. Menurut saya, dia bukan bisa baca kartu, kebetulan aja dia perhatian, jadi dia bisa tau kecengan anu siapa dan fisiknya gimana. Hihihi...
Akhirnya pamor saya agak kalah sama Dama, saya bilang, mendingan Dama aja yang meramal, biar lebih afdol! Hihihi. Padahal saya sudah jenuh dengan meramal itu. Dan entah kenapa, pas kelas 3 surut begitu saja hasrat main ramal-ramalan.
Masuk ke jaman kuliah, saya mulai banyak bergaul dengan teman-teman yang hidup ngekost. Saya sering main ke salah satu kost teman saya, Ita, yang tetangganya banyak dan baik-baik. Waktu itu, saya nemu kartu remi di kamar kost Ita. Iseng-iseng aja, saya main ramal-ramalan buat diri saya sendiri.
Ternyata, saya masih hafal step-stepnya! Wow! Kemudian, nggak lama, temen-temennya Ita, muncul dan mereka memerhatikan saya main ramalan. Eh, mereka memerhatikan ekspresi wajah saya! Katanya, wajah saya serius banget waktu meramal!
Satu persatu dari mereka minta diramal. Aih, ya sudah, saya ladeni deh. Iseng ini. Hari itu, saya meramal 5 orang sekaligus. Dan hari itu, saya mencoba sebuah eksperimen: Mengarang Bebas. Ceritanya saya baca kartu dan saya ungkapkan 'pengetahuan' saya atas kartu yang saya baca itu. Padahal, ngaraaaang! Hahaha....
Selama seminggu dari situ, saya belum ke kostannya Ita lagi, kalo nggak salah, lagi minggu tenang gitu. Seberes UAS, saya main ke kostan Ita dan curhat-curhatan sambil ledek-ledekan sama Ita, Didi dan Amel. Tiba-tiba, salah satu korban ramalan saya muncul dan menghambur ke pelukan saya.
Dia bilang, "ramalannya bener, saya rasa, saya nggak cocok sama dia. Akhirnya kami milih putus." Sejenak, saya, Didi, Ita, dan Amel berpandangan maksudnya-apa-sih.
"Oh, iya! Seminggu kemaren kan saya ramal! Eits, jangan percaya ramalan dooong! Itu kan cuma main-main!"
Dia bilang, "Nggak! Waktu itu kamu kan bilang, kalo antara aku sama dia ada kendala, keluarganya ga suka aku. ternyata benerrrr!!! Huhuhu..."
Saya cuma bisa melongo.
Dua bulan kemudian, waktu saya lagi bikin tugas di kamar kostnya Ita, korban kedua ramalan saya muncul, dengan wajah berseri-seri sambil menyerahkan sebatang Silver Queen almond.
"Teh Peni, ma kasih, ya, ramalannya jadi kenyataan. Waktu itu, Teteh kan bilang, saya bakalan jadian sama dia, ternyata iyaaa..." semburat merah muncul di wajahnya.
Lagi-lagi, saya cuma bisa melongo sambil berpandang-pandangan sama Ita. Dan si anak korban ramalan kedua saya ini bilang, kalo tiga korban ramalan saya yang lain, hasilnya bervariasi: ada yang awet dan sudah menikah, ada yang jadian trus putus lagi, ada yang nggak jadian sama sekali. DAN ITU SEMUA SESUAI HASIL RAMALAN KARTU REMI SAYA!!!
Jantung saya rasanya mau copot! Kok, tiba-tiba saya jadi seperti Permadi atau Mama Lorenz sih? Dulu, Mama Lorenz belum terkenal. Tapi, jaman itu, Permadi sudah terkenal.
Saya sampe dibilang, the next Permadi!
Huhuhuhu! Saya nggak mauuuu! Saya tahu, percaya ramalan itu dosa! Apalagi kalo sampai saya yang jadi peramalnya! Huhuhuhu... Sueerrrr... itu semua saya lakukan cuma buat main-main doaaaanggg!
Saat itu, saya langsung lari ke kamar mandi, ambil wudhu, dan shalat sunnah tasbih. Saya menangis sejadi-jadinya. Saya takut. Takut sekali. Dan saya langsung bertobat. Saya berjanji untuk tidak akan meramal lagi!
Jadi, saat saya baca PM teman saya itu, saya ketik balasan, "NGGAK LAGI LAGI MAIN RAMALAN KARENA AKU TAKUT BERDOSA!" (sambil bersenandung lagu anak-anak beberapa tahun lalu, yang liriknya,"nggak lagi-lagi main denganmu, karena kamu anak pembohong!"
note: gambar minjem dari sini