Beberapa hari terakhir ini, saya seperti ditunjukkan banyak hikmah...
Tentang becanda yang keterlaluan, tentang ketidakpekaan terhadap perasaan orang lain, tentang laki-laki yang selingkuh dari istrinya, tentang ibu yang merasa bersalah pada anaknya, tentang anak muda yang nggak sopan terhadap yang lebih tua, tentang kematian, tentang memaksakan diri untuk melakukan banyak hal di luar kemampuannya, dan masih ada banyak hal lagi yang membuat saya mencoba buat intropeksi diri.... hanya dalam beberapa hari saja!!!
Allah menganugerahi kita sebuah "kesempurnaan". Kita diberi nafsu juga pikiran. Dua-duanya saling membutuhkan. Masing-masing seharusnya bertugas saling menyeimbangkan. Tapi, seringnya hanya salah satu yang dominan dan itulah yang muncul dari perilaku kita. Kalo ga ngandelin nafsu, ngandelin pemikiran yang sama sekali ga berperasaan, gitu juga sebaliknya, kalo ga ngandelin pemikiran, ngandelin nafsu yang sama sekali ga dipikirin efek-efeknya.
Tapi, ya itulah ternyata. Semakin tinggi derajat kita, ternyata kita semakin diuji. Semakin nambah umur kita, jangan dikira kita makin nyantei. Satu hal yang saya bisa ambil hikmah dari semua ini: setiap kita naik kelas, kita harus menghadapi ujian dulu. Sekarang, gimana caranya kita menghadapi ujian-ujian itu. Ada yang diuji dengan kekurangan duit seperti saya (hahahahahaha), ada yang diuji dengan bertengkar sama temen (saya juga ini mah), ada yang diuji dengan candaan yang kelewat batas sehingga tersinggung luar biasa... dan seterusnya dan seterusnya...
Terkadang, kita terlalu sombong buat mengakui bahwa kita sebenernya masih perlu diingatkan orang lain. Saking sombongnya kita, kita selalu ngeles, selalu cari pembetulan setiap kita ditegur atau dinasihatin. Well, so human....
Itu yang bikin saya mikir. Selama ini, saya kebanyakan nyolot kalo dikasih tau yang bener. Saking seringnya nyolot, ketika saya ngasih tau sebuah kritik atau nasihat atas kesalahan seseorang, saya sering dicap "nggak-betul-cara-kasih-taunya" atau "saya-betul-tapi-bukan-di-waktu-yang-tepat", sehingga membuat pikiran saya beneran buntu, kapan-sih-waktu-yang-tepat-buat-kasih-nasihat-sama-orang-yang-kebetulan-berbuat-ngawur?
Dari situ, muncullah sifat kepengecutan saya sekarang. Saya memilih menghindari konflik, bersikap sok ga-ada-masalah, padahal saya tau di depan seseorang sedang ada masalah. Tapi saya memilih diam sampai akhirnya orang tersebut beneran ketimpa masalah. Ya itu tadi, saking saya beneran pengen menghindari konflik, akhirnya saya malah ga mau melakukan apa-apa buat kebaikan orang lain. Pengecut, kan??
Padahal, kalo kita bener-bener tau batas, ga perlu ada konflik, walau kadang konflik itu perlu buat koreksi diri. Kalo kita beneran tau batas, ga perlu lah kita menyinggung perasaan orang lain atau bikin sakit hati orang lain. Kalo kita tau batas, ga perlu lah ada istilah waktunya-ga-tepat atau wrong-talk-in-the-wrong-time. Setiap nasihat pasti maksudnya baik, apapun cara penyampaiannya. Kitanya aja yang terlalu sombong, sehingga kita kerap ngeles tiap ada yang kasih masukan, sebab reaksi pertama kita selalu mengungkapkan pembetulan...
Saya cuma teringat akan pesan seseorang yang sangat mengasihi saya: ibu direktur perusahaan di mana saya bekerja. Inti dari pesannya adalah: jangan lihat cara menyampaikan atau siapa yang menyampaikan suatu pesan, tapi tangkaplah inti dari pesan itu, karena itulah yang penting.
Suami saya juga pernah bilang,"jangan pernah minta apa yang ga dipunya dari orang yang kamu minta." Intinya sih, ga semua orang bakalan pernah nasihatin kita di waktu yang tepat atau dengan cara yang tepat. Setiap orang bersikap sesuai dengan kemampuannya masing-masing, kalo dia ga mampu berbuat sesuai dengan yang kita harapkan, tentu dia ga akan bisa melakukan apa yang kita harapkan.
So, maukah mulai sekarang kita belajar tahu batas?
note: gambar diambil dari sini
*kenapa ngambil gambar ga nyambung terus sih dari kemarin-kemarin posting?*
0 comments:
Post a Comment