Sejak
mulai dekat, saya dan Pa il jarang sekali ikut campur urusan
masing-masing. Sebelum menikah, memang sih, kami suka bertukar password
email. Tapi itu semata-mata untuk beberapa urusan. Sebab, waktu itu buat
pasang internet di rumah, harganya mahal banget. Jadi, kalo kebetulan
saya di warnet, saya suka buka akun email Pa il dan membantu
mengunduhkan sisipan. Begitu juga sebaliknya. Jadi, nanti kami bertemu,
bertransaksi bertukar disket. Jadul banget, ya...
Begitu
juga setelah kami menikah. Boleh dibilang, baik saya maupun Pa il,
jarang dengan sengaja mengecek ponsel pasangan. Entah itu ngecek kotak
masuk atau call log. Rasanya, kok, kayak yang nggak percaya sama
pasangan sendiri kalo sampai berniat begitu. Apalagi sejak Pa il pake
BB. Sering banget BB-nya bunyi. Trang tring trung. Pasti itu notifikasi
ada BBM yang masuk. Apakah saya berminat mengecek BBM yang masuk? Kalo
nurutin curiousity sih, mungkin iya. Siapa, sih, yang tengah malem iseng
kirim BBM? Nggak tidur apa? Tapi, toh, Pa il nggak pernah terbangun
hanya gara-gara ada BBM masuk.
Tapi
pernah, nih, beberapa tahun yang lalu, sebelum Pa il mulai pakai BB,
malah, ada hal yang membuat saya gelisah dan curiga. Setiap Pa il sedang
main sama anak-anak atau sedang di kamar mandi, atau sedang tidur
bahkan, suka ada telepon masuk. Lihat dari Caller ID-nya sih, namanya
Ms. R. Sering banget sih, Ms. R ini nelpon Pa il? Tapi nggak saya
angkat. Saya biarkan saja.
Belum
lagi, kalo ada telpon masuk dari Ms. R itu ketika Pa il siap siaga
nerima panggilan telepon, Pa il mengambil ponselnya, lalu menjauh dari
kami dan berbicara dengan lawan bicaranya di luar ruangan. Kadang di
luar rumah. Demi mendapat sinyal yang bagus atau supaya nggak terdengar
oleh saya?
Ah,
dasar, ya. Rasa penasaran mulai menggelitik hati saya. Padahal, sikap
Pa il nggak ada yang berubah. Konon, kalo suami sudah mulai doyan
perempuan lain, sikapnya berubah total. Entah itu lebih cuek atau justru
makin mesra sama istrinya supaya nggak ketahuan belangnya. Katanya,
lho... Amit-amit, deh, kalo sampai ngalamin mah! *ketok meja*
Setelah
beberapa hari mendapati kejadian seperti itu, saya mulai
mengendap-endap ngecek ponsel Pa il. Yang pasti, ketika saya
melakukannya, keringat dingin mengucur. Degdegan
nggak kentara. Takut ketahuan, lalu Pa il marah. Atau malah sebaliknya.
Saya justru takut mendapati hal-hal yang saya "inginkan". Maksudnya,
hal-hal yang saya "inginkan" ini adalah hal-hal yang saya takuti dan
menghantui saya selama ini. Bukan ingin beneran, lho.
Saya
mulai menelusuri Inbox dan Sent Message di ponsel Pa il. Padahal waktu
itu masih ponsel jadul. Belum pake BB. Saya betul-betul membuka semua
pesan dari seseorang bernama Ms. R. Duh. Memang, sih, nggak ada pesan
mesra. Tapi, kayaknya mereka janjian di suatu tempat. Pesannya
singkat-singkat aja. Kayak di folder Sent Message, pesan yang ditulis Pa
il kurang lebih: “iya”, “sebentar lagi”, “ditunggu”, “tunggu sebentar,
ya”. Sementara di Inbox, saya nemu
SMS yang ditulis Ms. R ini juga singkat. Kayak kode gitu. Misalnya,
“bagaimana?”, “sudah di mana?”, “masih lama?”. Hueeeeh. Istri mana yang
bisa tenang – yang udah lah penasaran terus pas bekerja menjadi detektif
– malah nemuin pesan-pesan kayak begini?
Siapa
ini Ms. R? Dan kenapa nggak ditulis dengan jelas R-nya siapa. Ini kan
justru membuat saya curiga. Saya memikirkan semua nama perempuan yang
mungkin untuk “R”-nya ini. Rina, Rani, Reni, Reti, Rima, Rida, Rila,
Runi, Risma, Resti, Revi, Rini, Rika, Rose, Raya. Argh! Kayaknya belum
pernah dengar nama perempuan teman kantor Pa il berawalan “R” selain
“Revi”, yang saya kenal. Eh, lagian, Revi udah nggak di kantor Pa il
sejak lama, kok. Dia hanya
beberapa bulan aja di kantor Pa il. Lalu kenapa “R”-nya ini
disembunyikan?
Hingga
suatu hari, seperti biasanya, hari Sabtu adalah hari di mana Pa il
bermain futsal dengan teman-teman kantornya. Hari itu, nggak tahu
kenapa, Ilman rewel banget. Intinya Pa il dibuat kesiangan berangkat ke
lapangan oleh kami berdua, saya dan Ilman. Dan saya sengaja
menyembunyikan ponsel Pa il. Soalnya, pagi-pagi, saya sempat lihat Pa il
terima telepon dari Ms. R ini. Jangan-jangan nanti mereka ketemuan di
lapangan futsal? Hedeeeh! Anak istri di rumah mendambakan bisa berakhir
pekan sama dia, ini kok malah janjian sama cewek lain, sih!
Pokoknya,
rasakan, Ms. R! Nanti kalo Ms. R ini nelpon, bakalan saya damprat
habis-habisan. Sembarangan banget ganggu suami orang, hah! Benak saya
sibuk menyusun kata-kata penuh emosi untuk mendamprat Ms. R ini. Huh!
Belum tahu, ya, Ms. R ini, kalo “Judes” adalah nama tengah saya?
Ternyata
benar! Voila! Sekitar jam 9 pagi, ponsel Pa il berdering. Ya! Tebakanmu
benar! Ms. R yang nelpon! Dengan rasa percaya diri (padahal sumpah,
deg-degan banget waktu itu, sampai gemetaran), saya tekan tombol
“answer” dan saya buat suara seelegan mungkin untuk menyapa dia yang ada
di seberang sana. “Assalaamu’alaikum wa
rahmatullaahi wa barakaatuh. Selamat pagi. Dengan istri Bapak Nasrudin
Fahmi di sini. Ada yang bisa saya bantu?” Dalam hati saya berujar, mampus, lu. Bentar lagi gue semprot. Jangan berharap yang jawab ini telepon adalah suami gue, ya!
Dijawablah dari seberang sana, “Wa ‘alaikum salaam. Bu, Pak Fahmi-nya ada?”
Eh? Sebentar.... Kok, suara laki-laki yang jawab?
“Pak Fahmi sedang ke lapangan futsal, Pak...”
“Oh, sudah berangkat, ya. Sudah lama? Kenapa belum muncul aja, ya?”
“Baru sekitar lima belas menit yang lalu. Mungkin sebentar lagi sampai, Pak. Kalo nggak macet.”
“Oh, ya udah atuh, Bu, kalo gitu, mah. Saya tunggu aja di sini.”
“Maaf,
Pak. Ini dengan siapa, ya?” Pertanyaan bodoh, saya akui. Tapi saya
harus tahu siapa nama penelepon. Siapa tahu, orang ini pinjam ponsel Ms.
R atau disuruh Ms. R buat nelpon ke ponsel Pa il. Mungkin saja, Ms. R
ini tiba-tiba merasa kalo saya sudah mencurigainya sejak lama, jadi
meminta orang lain yang notabene laki-laki, menelepon Pa il.
“Ini dengan Pak Mis, Bu. Ya sudah, saya tunggu Pak Fahmi di lapangan kalo begitu. Terima kasih, ya, Bu. Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalaam.”
Ms. R itu laki-laki? Tapi dasar, ya. Saya masih nggak percaya. Saya beneran nunggu Pa il pulang siang itu.
Sepulangnya
Pa il dari lapangan futsal, mandi, makan siang dan mulai nonton TV,
saya dekati Pa il sambil nyerahin ponselnya. “Papa, tadi pagi ada
telpon. Dari Ms. R. Tapi suaranya kok, suara laki-laki, ya?”
“Oh,
dari Pak Mis. Iya, kan, main futsalnya se-tim sama Papa.” Pa il
menjawab dengan lempeng jaya. Iyalah, lempeng. Orang emang nggak ada
yang sedang ditutup-tutupi. Dan dia memang sedang bicara jujur.
“Terus, kenapa itu ditulisnya Ms? Bukan Mis?
Kayak perempuan aja.”
“Hmmm.
Papa buru-buru waktu itu. Kan emang lagi sibuk nyiapin tender, Bun...
Terus ya kelupaan mau ngedit. Toh, yang penting sudah jelas nomernya
siapa.”
“........”
Saya
jadi malu. Sudah curiga pada Pa il yang sejak dulu sayang saya apa
adanya
nggak pakai syarat apa pun. Nggak pernah menaruh curiga pada saya,
meski saya sering cerita tentang semua sahabat saya yang rata-rata
laki-laki. Dan nggak pernah menginterogasi saya setiap kali menerima
telepon curhat dari beberapa sahabat laki-laki saya. Huhuhu. Maafkan
Bunda, ya, Papa...
Gokushufudo: The Way of House Husband 7
-
[image: Gokushufudo: The Way of House Husband 7]
author: Kousuke Oono
name: Peni
average rating: 4.35
book published: 2021
rating: 4
read at: 2024/10/20
date...
3 weeks ago
1 comments:
aku klo nemu orang yang ga percaya yang aku omongin, aku bilang aja ... "asumsi orang itu berdasar apa yang akan dia lakukan, klo anda ga percaya saya, berarti ya anda suka bohong :)"
berkaitan dengan tulisan ini... berarti... ya... :p
Post a Comment